ISTRIKU DAPAT KABAR HARU
Pada akhirnya, rencana untuk menghabiskan waktu berdua di hari libur melebur begitu saja. Karena secara mengejutkan, Ian beserta keluarga kecilnya datang berkunjung ke rumah Elliot. Ian juga sesungguhnya tidak mau mengganggu Elliot, tapi Izekiel mengaku sangat ingin melihat Elliot dan Charlotte sejak beberapa minggu yang lalu.
Karena hari ini semua orang memiliki waktu senggang, Ian akhirnya menyetujui permintaan Izekiel.
“Maaf, kami datang tiba-tiba,” kata Jessica seraya memberikan sekotak cokelat kepada Charlotte.
Saat melihat merk dari cokelat teraebut, Charlotte sadar kalau itu dari Swiss. “Kalian habis berlibur ke Swiss?”
“Hanya aku dan Izekiel, kami pergi minggu lalu.” Jessica sedikit menyindir, “Ian lebih mencintai pekerjaannya daripada kami.”
Ian menghela napas. “Jessica, aku sudah menebusnya dengan mengajak kalian ke taman bermain kemarin. Apa itu masih belum cukup?”
“Pergi ke taman bermain tidak bisa disamakan dengan liburan bersama.”
Ketika melihat pasangan itu hampir ribut, Charlotte merasa dia sudah mengangkat topik yang salah. Beruntung Elliot dengan cepat berusaha mencairkan suasana.
“Jangan ribut, jangan ribut. Jessica, Ian tentu saja lebih mencintai keluarganya daripada pekerjaan. Lihat, Ian bahkan tidak pergi ke kantor hari ini dan menemani kalian berkunjung,” ujar Elliot.
Jessica mendelik, “Salah dia sendiri, kenapa harus masuk kerja saat hari libur.”
“Jessica ….” Ian kembali menghela napas, mungkin sudah lelah untuk meladeni istrinya.
Elliot, “Sudahlah, jangan mengungkit masa lalu. Ayo, masuklah, Charlotte baru saja memasak pasta tadi. Kita bisa makan siang bersama.”
Begitu kata ‘Pasta’ terlontar dari mulut Elliot, Izekiel yang sejak tadi hanya diam di dalam gendongan Jessica akhirnya memberontak untuk turun dan berlari masuk ke dalam rumah. “Paman, aku lapar, aku ingin makan pasta sekarang.”
“Kiel! Mana sopan santunmu!” seru Jessica.
Charlotte tertawa. “Tidak apa, dia hanya terlalu senang. Kalian masuklah juga, jangan terus berdiri di ambang pintu.”
Kedua keluarga itu lantas memakan masakan milik Charlotte. Selama makan, Izekiel tidak bisa berhenti berbicara dengan Elliot, sehingga mulutnya jadi kotor oleh sisa-sisa makanan. Dengan sabar, Elliot menyeka mulut anak itu menggunakan tisu, sambil mendengarkan celotehan Izekiel.
“Paman pernah bilang kalau Paman punya banyak mainan mobil-mobilan. Bolehkah aku melihatnya?” tanya Izekiel dengan penuh harap.
“Habiskan makananmu dulu, setelah itu Paman akan membawamu ke rak koleksi mobil-mobilan Paman.”
“Wah! Paman punya banyak? Bolehkah aku meminta satu?!” tanya Izekiel dengan antusias.
Ian lebih dahulu menanggapi, “Jangan diberikan, kamu selalu membeli replika mobil edisi terbatas, pasti sulit untuk membelinya lagi.”
Ian selalu ingat kalau adiknya itu gemar mengoleksi banyak replika mobil, kebanyakan dari replikanya adalah edisi terbatas dengan harga selangit. Tentu saja, rasanya tidak etis apabila membiarkan putranya mengambil barang Elliot begitu saja.
Namun, Elliot hanya menanggapinya dengan santai. “Jangan khawatir, aku sudah tidak begitu suka mengoleksi mainan. Kalau Izekiel ingin, dia boleh mengambil beberapa.”
Sontak Izekiel menjawab dengan mata berbinar. “Sungguh? Aku benar-benar mobil membawanya pulang?”
“Mhm, tentu saja.”
Begitu Izekiel menyelesaikan makannya, dia dan Elliot segera pergi ke ruang kerja Elliot untuk melihat koleksi mobil-mobilannya. Karena tidak mau putranya berlaku semakin tidak sopan, Ian turut mengikuti mereka, meninggalkan Charlotte dan Jessica di ruang makan.
“Charlotte, sepertinya wajahmu semakin cerah sekarang,” puji Jessica tiba-tiba.
Charlotte secara reflek menyentuh kedua pipinya. “Aku terlihat sama saja.”
“Tentu saja tidak! Terakhir kali aku melihatmu di acara perjamuan makan, kamu selalu terlihat agak lesu dan tidak percaya diri. Tapi, sekarang kamu sudah berbeda, kamu terlihat lebih …”
Jessica menggantung ucapannya sebentar, berusaha mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan Charlotte. “… lebih dipenuhi semangat hidup. Apa menikah dengan Elliot membuatmu bahagia?”
Charlotte mengangguk begitu cepat. “Elliot selalu berusaha membahagiakanku dengan segala cara, jadi tentu saja aku akan bahagia.”
Jessica tersenyum. “Aku lega mendengarnya.”
Charlotte menatap Jessica dengan bingung, bertanya-tanya mengapa Jessica harus merasa lega karena melihat Charlotte bahagia. Seakan mengetehui isi pikiran Charlotte, Jessica segera menjawab.
“Sejak pertama kali aku menjalin hubungan dengan Ian, aku selalu berpikir kalau Elliot hanyalah anak berandalan yang sulit diatur. Karena itu, aku takut dia tidak akan becus dalam mengurus istrinya dan membuatmu menderita. Namun, kini aku bisa bernapas lega, karena ternyata dia berhasil mengurusmu dengan sangat baik.”
Charlotte tersenyum, bulu matanya jatuh saat dia menurunkan pandangan. “Elliot pernah bilang, kalau dia ingin memperbaiki kualitas hidupnya supaya bisa hidup dengan tenang dan dipenuhi kebahagiaan. Aku tidak berani berspekulasi kalau itu karena aku, tapi, setelah lama tinggal dengannya, sepertinya Elliot memang berubah karena ingin bertanggung jawab atas pernikahannya.”
“Kenapa kamu ragu? Tentu saja dia berubah karena kamu!” Jessica menggenggam tangan Charlotte. “Jangan selalu meragukan dirimu sendiri, Charlotte. Kamu jauh lebih berharga dari apa yang kamu bayangkan.”
Pandangan mata Charlotte semakin jatuh, seperti tetesan embun yang turun dari dedaunan. “Aku tidak seberharga itu.”
Dia bahkan tidak bisa menghasilkan keturunan, bagaimana bisa Charlotte berani meninggikan dirinya sendiri?
Tanpa diutarakan, Jessica juga mampu memahami kegelisahan Charlotte. Bagi seorang wanita yang ingin memiliki keturunan, mereka selalu berpikir kalau diri mereka adalah suatu kegagalan karena tak mampu melahirkan seorang anak.
“Charlotte, kudengar dari Ian, kamu ingin mencari ibu pengganti untuk memiliki anak.” Jessica menambahkan, “Kebetulan, aku tahu seorang ibu pengganti yang bisa kamu percaya untuk ditanamkan anakmu dan Elliot.”
Charlotte segera menaikkan kepalanya, kedua manik matanya berbinar laksana mutiara, hatinya dipenuhi pengharapan yang begitu besar. “Siapa dia? Bisakah aku bertemu dengannya.”
Jessica kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya. “Dia ada di depanmu. Charlotte, aku bisa menjadi ibu pengganti untukmu.”
Charlotte terkejut saat mendengarnya, “Kamu yang ingin menjadi ibu pengganti? Jessica, aku tidak mau membebani kamu. Kamu dan Ian bahkan belum memiliki anak kedua, tapi malah mau mengandung anak dariku dan Elliot. Ian mungkin tidak akan mengizinkan.”
“Aku mengizinkan,” suara Ian yang terdengar tiba-tiba mengejutkan Charlotte. Wanita itu memutar kepalanya dan mendapati Ian sedang berjalan ke arahnya, sementara di belakangnya ada Elliot yang tengah menggendong Izekiel, tangan anak itu membawa dua buah mobil replika. Tampaknya mereka baru saja datang saat mendengar obrolan Jessica dan Charlotte.
“Charlotte, aku mengizinkan Jessica,” ulang Ian saat dia berdiri di samping Charlotte. Pria itu tidak menampakkan ekspresi yang berarti, tapi Charlotte bisa tahu kalau ucapannya begitu tulus.
“Tapi, aku ….”
Ucapan Charlotte dipotong oleh Elliot. “Dia sudah berkata akan mengizinkan, kamu tidak boleh menolak lagi.”
Elliot mengelus kepala Charlotte dengan penuh kasih sayang. Bibirnya tersenyum lembut untuk meyakinkan istrinya bila Ian dan Jessica memang tidak keberatan.
“Terima kasih, aku pasti akan membalas kebaikan kalian suatu saat nanti.”
Saat Charlotte mengatakan itu, suaranya bergetar. Keharuan yang begitu dalam menyerang hatinya, membuat Charlotte tidak bisa menahan diri untuk menumpahkan air mata. Dia menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan, berusaha menyembunyikan dirinya yang rapuh dari orang lain.
Elliot lantas menurunkan Izekiel, kemudian memeluk istrinya sambil berbisik. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menepuk punggung Charlotte dan membiarkan Charlotte menangis di dalam dekapannya. Elliot lalu menatap Ian dengan pandangan sendu, sama terharunya seperti Charlotte.
“Terima kasih, Ian.”
Di dalam hati, Elliot turun berkata, “Aku tidak menyesal telah mempercayai kamu di kehidupan ini.”
Bersambung…