ISTRIKU MENEMUI KENALAN LAMA
Senyuman di wajah Charlotte langsung luntur begitu mendengar kabar dari Elliot. Dia masih tidak menyangka kalau orang yang telah membuatnya kehilangan rahim adalah seseorang yang sudah mengenalkan sejak ia kecil, supirnya sendiri.
“Tapi, Tuan Zack tidak mungkin berbuat begitu,” bisik Charlotte.
Elliot, “Sayang, kamu tidak bisa melihat isi hati seseorang. Jadi, kamu harus mempercayai fakta yang terpampang nyata.”
Dada Charlotte terasa begitu nyeri, akibat merasakan pengkhianatan yang begitu dalam. “Tuan Zack sudah menemaniku sejak aku masuk ke Keluarga Baxter. Dia juga adalah orang yang selalu mendengarkan keluh kesahku saat kita ada di dalam mobil. Elliot, Tuan Zack yang kukenal itu sangat baik, dia juga selalu tampak ramah, dan sering bilang kalau aku mengingatkan dia dengan putrinya yang tinggal di kampung halaman.”
Kesenangan yang ia tumpuk hari ini melebur begitu saja. Tadinya juga Elliot belum mau menceritakan masalah itu hari ini, tetapi Charlotte terus bertanya kenapa ekspresi Elliot terlihat buruk usai mendapatkan telepon, sehingga Elliot terpaksa bercerita kepada Charlotte.
“Dia mungkin seperti Tuan Portman. Dijebak untuk melakukan kejahatan, sehingga orang yang sesungguhnya ingin mencelakaimu tidak perlu mengotori tangan mereka.”
Charlotte, “Kira-kira, siapa yang ingin mencelakaiku di masa lalu?”
Charlotte dan Elliot sesungguhnya memiliki pemahaman yang sama. Walau bertanya, Charlotte juga bisa menebak kalau keluarganya sendirilah yang ingin mencelakainya. Namun, dia belum mempersiapkan diri untuk mendengar itu dari mulut orang lain. Begitu pun dengan Elliot yang tidak mau istrinya sampai terluka lebih jauh hari ini.
“Kita akan mengetahuinya setelah bertemu dengan Tuan Zack. Aku sudah memesan pesawat untuk ke Nashville besok siang. Karena itu, lebih baik sekarang kita tidur agar besoknya tidak lelah.” Elliot menuntun Charlotte untuk berbaring di tempat tidur, kemudian mematikan lampu, dan menyelimuti istrinya.
Elliot mengelus pelipis Charlotte sebentar, sebelum akhirnya mencium kening wanita itu. “Siapapun orang yang mencelakaimu. Aku pasti akan membuat dia menebus kesalahannya.”
Charlotte menggenggam tangan Elliot, lalu mengeluarkan keluh kesahnya. “Bagaimana bila orang itu adalah keluargaku sendiri? Jika aku melawan mereka, aku mungkin benar-benar kehilangan keluargaku.”
Elliot, “Sejak kita menikah, keluargamu bukan lagi Baxter, melainkan aku. Karena itu, Charlotte, kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku tidak akan meninggalkan kamu, sehingga kamu tidak akan kehilangan keluarga.”
Charlotte tidak bersuara lagi, tetapi bibirnya tersenyum saat mendengar kata-kata Elliot yang menenangkan hati. Sekarang, nama keluarganya adalah Landegre, bukan lagi Baxter. Oleh sebab itu, seharusnya Charlotte tak lagi memperdulikan Keluarga Baxter.
Kala rembulan menghiasi malam yang panjang, Charlotte tidur dalam kedamaian. Tangannya menggenggam erat tangan Elliot, seolah tidak ingin pria itu menjauh dari dirinya.
*****
Begitu matahari bersinar di atas kepala, Charlotte dan Elliot menginjakkan kaki di bandara Indiana. Kota kecil Nashville letaknya cukup terpencil, sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh menggunakan taxi.
Berdasarkan informasi dari Erland, sekarang ini Zack hanya tinggal bersama putrinya yang seumuran dengan Charlotte. Mereka membuka sebuah toko kue kecil yang sederhana, dan tak pernah lagi menginjakkan kaki di Kota New York.
“Jarang ada hotel di kota kecil seperti ini, dan jaraknya juga cukup jauh dari sini. Kalau kalian ingin menginap, lebih baik menyewa penginapan kecil yang dikelola penduduk setempat,” saran supir Taxi saat Elliot dan Charlotte ingin turun.
Elliot tersenyum dan memberikan upah untuk supir itu. “Terima kasih, aku akan mengingat saranmu.”
Sekarang ini, keduanya turun di lokasi pusat pertokoan kota. Populasi kota kecil ini tidak begitu banyak, sehingga orang-orang yang berlalu lalang di jalanan pun bisa dihitung menggunakan jari.
Berbeda dengan udara di New York yang dipenuhi oleh polusi, di Nashville udaranya sangat bersih dan terasa sejuk, sehingga suhu udaranya pun semakin dingin saat memasuki musim dingin.
“Di mana tokonya?” tanya Charlotte.
Elliot melihat foto yang dikirimkan oleh Erland. “Erland tidak bisa menemukan alamat pastinya, tapi dia mengirimkan foto tampak depan toko. Dinding tokonya terbuat dari bata merah, lalu ada papan nama toko yang digantung. Nama tokonya itu Wood’s Bakery.”
Charlotte ikut memperhatikan foto itu, lalu berkata, “Kita bisa mencari sekalian jalan-jalan.”
Elliot mengangguk, tangannya lantas merangkul pundak Charlotte. “Mhm, kita sudah lama tidak liburan.”
Elliot tidak mau Charlotte diliputi kesedihan yang mendalam nanti. Sehingga, ada baiknya menaikkan suasana hati Charlotte dengan mengajaknya mengelilingi kota kecil. Mereka akhirnya membeli beberapa camilan kecil di sepanjang perjalanan, tak lupa juga menanyakan keberadaan Wood’s Bakery kepada para penjual toko.
Semakin lama mereka melangkah, semakin dekat mereka dengan toko kue milik Zack. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah toko dengan papan nama Wood’s Bakery terlihat tak jauh dari tempat Charlotte berdiri.
Kakinya seketika berhenti melangkah, dan hatinya menjadi ragu untuk menemui Zack.
Charlotte tidak tahu, apakah dia siap atau tidak untuk menghadapi seseorang yang pernah menyayangi dan melukainya di waktu bersamaan.
Rasa sakit kembali menjalari hati Charlotte, membuat wanita itu agak gemetar. Namun, seluruh kegundahan di dalam hatinya langsung luntur tatkala Elliot memegang tangannya seraya berkata, “Jangan takut, aku selalu menemani kamu.”
Charlotte mengukir seulas senyum. “Mhm, ayo kita pergi.”
Tring!
Lonceng yang ada di atas pintu berbunyi tatkala Charlotte membuka pintu toko. Seorang wanita berpakaian pelayan segera mendatangi pasangan itu sambil memberikan senyuman terbaiknya. “Selamat datang di Wood’s Bakery, silahkan duduk selagi kalian ingin memilih menu.”
Charlotte menerima menu yang disodorkan oleh pelayan itu. Tapi, dia tidak segera melangkah ke tempat duduk. “Apa Tuan Zack Wood ada?”
Pelayan di hadapan Charlotte terlihat kebingungan selama beberapa saat, lalu kembali memperlihatkan senyuman ramah yang lebih lebar. “Apa kalian adalah kenalan ayahku?”
Charlotte, “Bisa dibilang begitu. Apa Tuan Wood ada?”
“Ada! Tapi, dia baru saja pergi keluar untuk membeli tepung di toko. Dia mungkin akan kembali sebentar lagi. Kalau kalian mau, kalian boleh menunggu dulu di sini.”
Charlotte mengangguk. “Kalau begitu, kami akan menunggu.”
Setelah itu, Charlotte dan Elliot duduk di kursi dan memesan dua kopi latte serta kue. Saat tahu bila mereka adalah kenalan dari Zack, putrinya menjadi lebih bersemangat karena bisa menyambut tamu ayahnya.
“Tidak biasanya Ayah kedatangan tamu,” kata putri Zack seraya meletakkan dua gelas latte panas. “Kukira dia tidak punya kenalan di kota, tapi untungnya kalian datang.”
Charlotte tidak banyak berbicara, karena tak mau sampai wanita di hadapannya mengetahui alasan mereka datang menemui Zack. “Siapa nama kamu?”
“Namaku Dakota Wood. Kalian boleh memanggilku Dakota saja.”
Karena tidak nyaman mengobrol sambil berdiri, Charlotte mempersilahkan Dakota untuk duduk bersama mereka. Mungkin karena Charlotte dan Dakota seumuran, mereka jadi tidak begitu canggung saat mengobrol untuk pertama kalinya.
Kepribadian Dakota sangat mirip dengan Zack, mereka sama-sama gemar tersenyum dan selalu berbicara dengan begitu ramah. Siapapun pasti mengira pasangan ayah dan anak itu adalah orang baik yang tak mungkin melakukan kekejian di dunia. Akan tetapi, seperti kata Elliot, Charlotte tidak mampu mengukur kedalaman hati seseorang.
“Apa kalian baru membuka toko ini saat Tuan Zack kembali dari New York?”
Dakota mengangguk, “Ya, aku sangat senang saat dia berkata akan mencari nafkah di sini alih-alih di kota besar. Padahal, sebelumnya dia selalu bersikeras untuk bekerja di kota besar dengan alasan upah di sana lebih besar.”
Zack sudah menjadi supir Charlotte sejak wanita itu masih berada di sekolah dasar. Pria itu juga jarang pulang ke kampung halaman, sehingga Charlotte bisa menebak kalau dulu Dakota jarang melihat ayahnya.
“Tapi, tidak apa. Berkat kerja keras Ayah, aku bisa hidup sehat sekarang.”
Charlotte bertanya, “Kamu pernah sakit?”
“Mhm, aku punya penya—”
Tring!
Ucapan Dakota terpotong oleh suara lonceng, pertanda bahwa ada seseorang yang masuk. Dakota buru-buru berbalik, lalu tersenyum riang saat melihat Zack datang sambil membawa kantung belanjaan.
“Ayah! Akhirnya kamu datang.” Dakota berlari kecil menuju Zack. “Ada kenalanmu dari kota yang datang.”
Zack mengerutkan keningnya bingung. Ia lantas mengarahkan pandangan ke meja yang ada di belakang Dakota, dan dalam hitungan detik, Zack merasa lututnya begitu lemas sampai tidak mampu menopang bobot tubuhnya sendiri.
“Tuan Zack, kita bertemu lagi,” kata Charlotte dengan intonasi lembut.
Seketika Zack menjatuhkan seluruh kantung belanjaannya. Kedua pupilnya bergetar tatkala manik emerald Charlotte menatap lurus ke arahnya, seolah tengah menghakimi Zack atas kesalahan yang pernah ia perbuat.
Dakota tidak mengerti kenapa Zack bertingkah aneh begitu. “Ayah, ada apa? Apa kamu sakit?”
Napas Zack memburu, dengan suara gemetar, ia memanggil Charlotte. “No … Nona Charlotte.”
Bruk!
Zack menjatuhkan lututnya ke atas permukaan lantai, kemudian bersujud di amhang pintu. Di hadapan Charlotte ia mulai berteriak untuk meminta pengampunan. “Maafkan saya! Nona Charlotte, saya sungguh minta maaf.”
“Aku terpaksa melakukan itu, aku sungguh tak bermaksud menyakiti Anda!”
Zack tampak begitu ketakutan. Tubuhnya tidak bisa berhenti gemetar, bahkan kepalanya tak berani untuk diangkat. “Anda boleh membunuh saya jika menyimpan dendam. Tapi, tolong … tolong biarkan Dakota hidup dengan tenang.”
Dakota sontak berteriak, “Ayah! Apa maksudmu?! Kenapa kamu rela dibunuh?”
Charlotte akhirnya berdiri, membuat Dakota menjadi waspada dan berdiri di hadapan Zack untuk menghalangi Charlotte. “Kalau kamu ingin menyakiti ayahku, maka aku tidak akan tinggal diam.”
“Aku tidak akan menyakitinya.” Charlotte menundukkan kepalanya. “Mari kita bicara, Tuan Zack.”
Suara Charlotte masih selembut kelopak mawar yang berterbangan di udara. Namun, Zack merasa suara itu turut mengandung duri yang menusuk hatinya sampai terasa sakit.
Melihat Zack tidak bereaksi, Elliot akhirnya menimpali. “Jika kamu memang merasa bersalah, maka setidaknya katakan kebenarannya kepada kami. Dengan begitu, kami bisa menghukum orang yang tepat alih-alih melampiaskan amarah kepada suruhan seperti kamu.”
Usai mendengar suara Elliot yang dipenuhi ultimatum tak terbantahkan. Zack akhirnya mengangkat kepalanya, lalu menarik Dakota dari hadapan Charlotte. “Dakota, tutup tokonya, lalu pulanglah ke rumah.”
“Aku akan tetap di sini dan memastikan Ayah tidak dilukai!” teriak Dakota.
“Dengarkan Ayah! Pergilah, Ayah perlu menyelesaikan masalah dengan mereka.”
Bentakan Zack membuat Dakota terkejut. Zack sangat jarang membentaknya dengan suara keras seperti itu, sehingga Dakota tidak bisa menahan diri untuk menangis. “Kenapa Ayah bersikap begitu? Aku hanya mengkhawatirkan Ayah.”
Zack terkesiap saat melihat putrinya menangis. “Maaf, maafkan Ayah. Ayah tidak bermaksud membentak kamu. Tapi, sungguh, kamu tidak boleh ada di sini. Pulanglah ke rumah dan temani Ibumu.”
Dakota masih bersikukuh tetap ada di sana, sehingga akhirnya Charlotte angkat bicara. “Jangan khawatir, kami tidak akan menyakiti ayahmu. Dakota, kamu bisa mempercayai kami.”
“Kenapa aku harus percaya?”
“Karena aku sudah menganggap Tuan Zack sebagai keluargaku sendiri.” Charlotte tersenyum getir. “Oleh karena itu, aku tidak mungkin menyakitinya.”
Bersambung…