Makan malam pun hampir tiba. Aku masih merenung di kamar. Aku tidak percaya, dalam 24 jam, aku sudah meniduri dua perempuan. Aku yang statusnya sudah menikah… beristri… meniduri seseorang yang belum bersuami, dan juga yang sudah bersuami.
Kalau ada istilah pria paling bangsat di dunia, ya mungkin akulah itu. Aku tidak tahu, apakah Novi juga akan menjadi korbanku juga? Jujur saja, walaupun Emi memiliki buah dada dan perhatian yang besar, walaupun juga Desi memiliki puting susu yang bagus dan keliaran yang tidak tertandingi dalam seks.
Entah kenapa aku mempunyai perasaan bahwa Novi memiliki sesuatu yang tidak dipunyai oleh mereka. Aku semakin penasaran. Gitu-gitu, Novi memiliki buah dada dan paha yang seksi, perut yang langsing, wajah yang paling cantik diantara ketiganya.
Walaupun demikian, aku tidak tahu bagaimana dia memperlakukan seorang laki-laki dalam berhubungan seks. Akankah dia seperti Emi yang begitu perhatian, akankah dia seperti Desi yang begitu liar, yah tidak ada yang tahu, mungkin hanya suaminya yang tahu.
Tok tok tok… “Pak Jaameess… makaaannn…” Kata seseorang yang suara dan nadanya sangat kutahu pasti. Ya, Emi.
Di luar, aku tidak melihat ada apa-apa di meja makan maupun di kompor.
“Lho, makan apa kita malem ini?” Tanyaku.
“Kita makan diluar, pak. Udah, ayo ikut aja sini.” Jawab Emi seraya menggandeng tanganku.
Emi mengenakan baju you-can-see berwarna hijau dan celana jeans pendek. Emi yang begitu ceria, perhatian, baik, dan penuh kasih sayang. Entah apakah aku akan tetap mendapatkan ini semua setelah perjalanan ini berakhir. Semoga saja tidak.
Jujur saja, aku masih berharap bisa bersetubuh dengannya sekali lagi, jika bisa sih berkali-kali. Di luar villa, Desi dan Novi sudah siap dengan makanan panggang dan api unggun. Mereka memasak makanan berbagai daging dengan disate, lalu diletakkan di dekat api unggun, persis seperti camping di film-film.
Desi mengenakan kaos oblong warna kuning yang ditutupi oleh jaket putih, dan celana pendek, super pendek, warna putih. Sedangkan Novi mengenakan tanktop warna putih dan celana jeans pendek. Pandanganku terus tertuju kepada Novi, tanpa memperhatikan dua yang lainnya.
Kemungkinan disebabkan karena aku sudah menyetubuhi dua yang lainnya ya, sehingga aku menjadi semakin penasaran dengan satu-satunya wanita yang belum kusetubuhi. Ah sudahlah, jangan sampai itu terjadi, semoga aku tidak menambah dosa.
Kulihat makanan kebanyakan sudah matang. Emi mengambilkanku dua tusuk sate daging, dan menyendoki aku nasi di piring daun. Beh, suasana camping. Bisa aja mereka membuat acara dengan suasana begini. Kukira mereka itu orang yang suka berfoya-foya dan bermewah-mewah, ternyata tidak tapinya.
Untuk ukuran wanita, mereka makan lumayan banyak. Tidak seperti teman-temanku yang wanita, yang baru makan lima sampai tujuh sendok saja sudah kenyang. Mereka mah porsi makannya seperti laki-laki. Pantas saja si Emi dan Desi bisa sangat bergairah dalam berhubungan seks.
Makanan sudah hampir habis. Aku sendiri sudah kekenyangan. Kekenyangan begini itu enaknya tidur. Dan sampailah acara yang paling kubenci, sesi gosip.
Awalnya, mereka bertiga membicarakan gosip seputar artis, politikus, atlet olahraga, masalah kantor, masalah dengan teman-teman mereka, dan hingga akhirnya pembicaraan mulai mengarah kearah seks. Aku tergelitik mendengar pembicaraan mereka.
“Biasanya, setelah selesai makan malam, aku bersama dengan suamiku nonton televisi sebentar, lalu mulai saling meraba-raba, tidak lama kemudian ngentot.” Kata Desi.
“Sama suami gimana bu? Enak dong? Hehehe.” Tanya Emi.
“Ya enak sih. Cuma terkadang berasa hambar saja. Suamiku selalu bermain dengan gaya konvensional. Pemanasannya sudah tertebak polanya olehku. Mencium bibir, menjilat leherku, membuka pakaianku, menyusu denganku, mencium perutku, memeluk sambil meraba punggungku, membuka celanaku, membuka seluruh pakaiannya, dan ngentot.” Kata Desi.
“Gak ada variasi lain bu?” Tanya Emi.
“Tidak ada Emi. Selalu sama setiap hari.” Kata Desi.
“Yah, ga enak dong.” Kata Emi.
“Tidak boleh berkata seperti itu, Emi. Setiap yang kita punya, harus kita syukuri. Tetapi jujur saja, walaupun aku sudah bersuami, aku tidak pernah menolak untuk ngentot dengan pria lain, selama aku mau melakukannya dengan pria tersebut. Keinginan seks-ku sangat tinggi, bahkan melebihi keinginan seks para pria.” Kata Desi.
Iya betul. Aku mengakui hal itu. Ia sangat liar dalam berhubungan seks.
“Emangnya ibu sudah pernah ngentot dengan pria lain selain suami ibu?” Tanya Emi.
“Sudah pernah Emi. Tetapi baru sekali, karena kebetulan yang menarik perhatian dan birahiku hanya satu pria.” Kata Desi dengan tenang.
Wuih, bangga aku mendengarnya. Ternyata gini-gini, Desi berhasil terpincut olehku, ya tentu saja jika yang ia katakan itu tidak bohong ya.
“Wah enak ya kalian semua, betul-betul petualang.” Kata Novi.
Kita terdiam mendengar perkataan Novi. Lebih tepatnya, aku tidak tahu kenapa semuanya terdiam. Ya, aku angkat bicara saja untuk meramaikan suasana.
“Kamu ga suka bertualang mencari kenikmatan diluar sana, Novi?” Tanyaku.
Desi dan Emi makin terdiam, Novi pun juga diam untuk sementara waktu.
“Oh iya, besok kita jadi ke Marbella ga ya?” Kata Emi, mengalihkan topik pembicaraan. Yah aku mengerti saja, mungkin ada yang tidak boleh kuketahui.
“Udah gapapa, Mi. Pak James sekarang udah jadi bagian dari kita kok. Mungkin udah saatnya aku cerita.” Kata Novi.
Bagian dari kalian? Berarti kalian yang selama ini kuanggap aneh, dengan bergabungnya aku ke dalam kalian, berarti aku juga aneh dong? Atau malah yang paling aneh jangan-jangan?
“Jadi sebetulnya kehidupan rumah tanggaku cukup kelam, pak. Paling tidak, aku menganggapnya seperti itu.” Kata Novi.
“Emangnya ada apa Nov?” Tanyaku.
“Suamiku seorang preman yang kasar terhadap siapapun, tidak pandang bulu baik itu bayi, anak kecil, wanita, maupun orang lanjut usia. Meskipun begitu, jika sedang lempeng, ia lembut kepadaku. Tapi ya begitu tidak lempeng, tidak jarang aku kena tampar.
Ia seorang yang sangat pencemburu. Aku tidak diizinkan berkumpul bersama temanku yang laki-laki. Bahkan kalo aku ngumpul sama-sama teman, dan ada laki-laki di dalamnya, tidak akan mungkin dia ngasih aku ngumpul.
Pernah waktu itu ada temanku laki-laki, cuma ngobrol sebentar denganku, langsung ditebas olehnya dengan golok. Aku jadi ngerasa bersalah dengan temanku itu. ” Kata Novi. Ngocoks.com
Buset, machochist juga suaminya.
“Apa semua kebutuhan kamu terpenuhi Nov?” Tanyaku.
“Sandang pangan papan sangat berkecukupan. Tapi dalam hal biologis, aku ga pernah berkecukupan. Saat berhubungan seks, dia selalu hanya memikirkan dirinya sendiri. Paling lama juga kami cuma tahan 3 menit dari pemanasan sampai selesai.” Kata Novi.
“Terus, yang kamu bilang kelam itu gimana?” Tanyaku.
“Yah itu tadi pak.” Jawab Novi.
“Kamu itu orangnya ga lebay Nov. Masa kaya gitu aja dibilang kelam. Kalo mao cerita tuh jangan setengah-setengah.” Kataku.
Emi dan Desi terlihat tersenyum mendengar perkataanku.
“Udah gapapa bu, diceritain aja. Siapa tau bisa lebih lega. Atau malah siapa tau Pak James bisa bantu, kan bagus.” Kata Emi.
“Toleransi suamiku terhadap aku sangat kecil. Aku diharusin kerja ama suamiku, tetapi sampai di rumah, aku juga harus mengerjakan pekerjaan rumah, sementara suamiku istirahat dan menunggu masakanku.” Kata Novi.
Pantas saja masakannya enak, ternyata selalu berada dibawah tekanan toh.
“Terkadang kalau aku salah dikit aja, seperti misalkan kebanyakan garam, itu suamiku langsung ngamuk dan membanting piringnya. Padahal setidak-enaknya masakanku yang pernah kubuat dirumah, selalu lebih enak dari masakan yang kumasak selama dua hari ini.” Kata Novi, mulai menitikkan air matanya.
Buset, jadi suaminya kurang enak apa coba? Dimasakkin makanan seenak itu, dapat pelayanan penuh dari istri, masih saja tidak dihargai, padahal jarang wanita yang mau memberikan pelayanan penuh seperti Novi.
“Udah Nov, ga usah dilanjutin. Ini kita harusnya lagi seneng-seneng, tar malah hancur gara-gara ini. Selama long weekend ini, kita mikir yang seneng-seneng aja ya, lupakan sejenak masalah kantor dan rumah. Oke?” Kataku.
Novi mengangguk sambil tersenyum, senyum paling cantik yang pernah ia perlihatkan.
“Pak James hebat sekali ya. Biasanya Bu Novi paling bercucuran air mata saat bercerita. Akan tetapi, saat bercerita kali ini kepada Pak James… habis nangis ketawa makan gula jawa.” Kata Desi.
Kita semua tertawa terbahak-bahak.
“Bisa ngelawak juga kamu Des. Kirain kamu bisanya baca cerita dari buku pelajaran bahasa Indonesia saja.” Candaku.
“Yeee bapak. Saya tentunya bisa melawak.” Kata Desi, dengan tetap menggunakan bahasanya yang baku walaupun setelah kuledek.
“Udah jam 9 niih. Ngantuk. Aku tidur duluan ya.” Kata Emi sambil menguap.
“Emi, mari kita bersama ke kamar.” Ajak Desi.
Aku ingat, malam ini ada pergantian shift. Emi dan Desi tidur di kamar, sedangkan Novi tidur di sofa. Malam itu, aku tidak langsung ke kamar. Aku duduk dahulu di sofa perapian, karena tiba-tiba aku merasa nyaman disini.
Aku pun jadi berpikir, kenapa pada waktu kemarin, Novi menerima perlakuanku begitu saja. Tidak ada perlawanan sama sekali, bahkan ia pun memberi response balik atas perlakuanku. Tidak lama setelah itu, Novi pun datang membawa selimut dan bantal.
“Novi, kamu tidur di kamar aja gih. Aku tiba-tiba betah disini.” Kataku.
“Yaudah, kita tidur berdua aja pak disini.” Kata Novi seraya duduk dan meletakkan perabotan di sofa sebelah sofaku.
“Nov, ada yang mau aku tanyain nih ke kamu.” Kataku.
Novi tidak berkata apa-apa, melainkan hanya memasang ekspresi antusias, tanda bahwa aku boleh bertanya.
“Kamu menganggap Emi dan Desi itu sebagai apa Nov?” Tanyaku.
“Hmmm. Di kantor, kadang aku nganggep mereka sebagai rekan kerja dan teman berbagi. Pada saat jalan-jalan bareng gini, aku ngerasa aku yang paling bertanggung jawab atas mereka. Disitu lah aku ngerasa peranku sebagai kakak buat mereka.
Pas kemarin mereka main-main di pantai, aku ngerasa seperti ibu yang sedang mengawasi anak-anaknya main di pantai. Aneh ya pak? Hahaha” Kata Novi.
“Ah biasa itu mah, selow aja kali Nov. Omong-omong, kayanya aku ngerti sesuatu deh Nov. Aku sempet ga habis pikir kenapa kamu tuh kmaren mao aja, bahkan ngasih response, pas aku rangkul kamu untuk bersandar di pundak aku dan nyium bibir kamu.
Itu karena kamu mendambakan keluarga bahagia, dengan suami kamu dengan perilaku seperti pria normal, dan anak-anaknya yang sedang bermain-main. Aku salah ga?” Tanyaku.
“Hmmm. Ada betulnya pak. Di rumah, aku tidak pernah merasakan peranku sebagai istri, pak. Menurut pandangan suamiku, perempuan itu selalu lebih lemah dari laki-laki, perempuan itu memiliki kewajiban melayani laki-laki. Tapi itu memang betul sih pak, lihat saja aku.” Kata Novi.
“Hmmm, mungkin begitu ya. Tapi aku sih punya pandangan yang beda. Memang perempuan itu seringkali lebih lemah dari laki-laki, tapi cuma perempuan yang bisa mengangkat laki-laki ketika laki-laki itu menjadi lemah dan jatuh.
Mungkin perempuan punya kencendrungan untuk melayani laki-laki, tapi laki-laki pun juga demikian. Ada kalanya laki-laki itu juga harus melayani perempuan, intinya mah saling melayani deh.” Kataku.
“Nah itulah pak. Di rumah, aku diperlakukan layaknya seperti budak. Ga dalam pekerjaan rumah tangga, urusan apapun, bahkan dalam hubungan suami-istri.” Kata Novi.
“Terus, from the first place, apa yang ngebuat kamu pengen nikah sama dia?” Tanyaku.
“Aku telat dewasa sih, pak. Aku dulu menganggap dia itu keren. Dia jago berantem, dia bisa melindungi, dia macho. Tapi ternyata, dibalik itu semua, ternyata dia itu laki-laki yang kasar. Perasaanku hampir sepenuhnya memudar dari hari ke hari.” Kata Novi.
“Ga boleh gitu lho Nov. Kamu udah mutusin dari awal bahwa kamu akan nikah sama dia. Nikah itu bukan main-main. Ga bisa kaya waktu kamu pacaran, disaat kamu udah muak, tinggal putus. Nikah ga bisa kaya gitu. Apapun yang terjadi, musti kamu hadapi bersama.
Walaupun ini bukan contoh yang bener, tapi liat si Desi. Desi bilang dia selalu berpetualang mencari kenikmatan diluar sana. Dia berhubungan seks dengan orang lain yang bukan suaminya, kalo disebut istilahnya, selingkuh.
Bersambung…