**Anissa Wibisono – Stella Wijaya**
“Kamu kecewa, Mas?” tanya Anissa.
Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa karena tidak bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang memuncak, tapi di sisi lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya karena masih menjunjung tinggi nilai dan budaya timur yang kini sudah mulai luntur. Sangat jarang menemui gadis seperti Anissa.
“Kamu pasti kecewa ya, Mas?” Anissa mengulangi pertanyaannya.
Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan indah dengan mesra.
“Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu, say. Di jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih memandang penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan merasa terhormat. Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa harus kecewa? Aku hanya perlu sabar dan menunggu sebentar lagi.” balas Dodit tersenyum.
Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya.
Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan bangga akan menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan mereka. Dia akan memberikan miliknya yang paling berharga, kegadisannya yang sudah dia jaga sejak kecil.
“Terima kasih, sayang. Kau tahu seandainya tadi kau teruskan, aku tidak akan bisa menolakmu karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam pertama kita benar-benar menjadi malam pertama yang sangat berharga.” kata Anissa sambil lembut mengecup pipi Dodit.
Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.
**Stella Wijaya**
“Bang! Baksonya tiga ya, Bang!” ucap seorang Ibu.
“Iya Bu!” jawab Pak Isno.
Akhir-akhir ini Pak Isno sering lewat di komplek rumah di sekitar pos kamling, lokasi dimana dia memergoki wanita cantik yang jadi idamannya.
Pagi siang malam Pak Isno berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok bidadari yang kemarin lusa dia lihat mendatangi pos kamling dan melakukan hubungan seks dengan seseorang. Wanita itu sangat cantik dan terlihat seperti wanita baik-baik tapi melakukan hubungan seks malam-malam di pos siskamling.
Pak Isno tidak habis pikir bagaimana wanita seperti itu melakukan hubungan seks malam-malam di pos kamling. Bisa dipastikan wanita cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya Pak Isno bersemangat mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu, Pak Isno tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Hari ini, Pak Isno kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan membeli bakso dagangannya. Dengan hati-hati Pak Isno mendekati mereka dan berpura-pura memotong-motong sayuran, Pak Isno menguping pembicaraan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa tahu ada informasi yang bisa dia dapat mengenai wanita itu.
“Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Kuncoro punya cewek simpanan baru lho.”
“Cewek simpanan? Pak Kuncoro yang gemuk itu? Pak Kuncoro? Masa sih, Bu? Siapa yang mau sama Pak Kuncoro? Istrinya aja nolak-nolak!”
Ibu-ibu itu tertawa.
“Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Kuncoro sendiri. Katanya akhir-akhir ini Pak Kuncoro jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak wangi, sikat gigi aja jarang!”
“Ah, Bu Tatang ini…”
“Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita bodoh yang mau sama Pak Kuncoro? Meskipun di depan orang kelakuannya baik, tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana! Kasihan istrinya.”
“Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Rendra dan Bu Rendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Kuncoro . Mungkin mereka satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Kuncoro sebenarnya.”
“Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu Syamsul. Soalnya Bu Kuncoro kan orangnya baik banget! Suka menolong dan ramah. Bu Rendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan sifatnya lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Rendra pasti mempercayai keluarga Pak Kuncoro .”
“Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Kuncoro itu Bu Rendra yah?”
Ibu-ibu itu kembali tertawa.
“Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Rendra sama Pak Kuncoro ! Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Kuncoro itu gemuk, botak dan jelek! Buat apa Bu Rendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama Pak Kuncoro? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain yang lebih cakep? Ah ada-ada saja.”
“Bener, Bu Syamsul. Bu Rendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah, sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya. Suami saya aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang berpapasan di jalan dengan Bu Rendra.”
“Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Rendra, itu mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis penampilan Bu Rendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang indah, wajahnya yang cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar laki-laki, kalau sudah lihat yang bening lupa sama istri sendiri!”
Ibu-ibu itu tertawa lagi.
Pak Isno mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria itu sepertinya mulai menemui titik terang. Pak Isno mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik dan seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari seorang warga komplek yang bernama Rendra, apakah mungkin dia wanita yang dia lihat malam itu?
Pak Isno jelas berniat mencari tahu.
**Indriani Suseno**
“Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia menggodaku… dia… dia…” kata-kata Indriani patah-patah karena bingung mencari kata yang cocok.
Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap mempertahankan pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar, meskipun saat ini dia sudah seperti seorang pelacur hina.
“Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya pelajaran berharga!” ujar Pak Adam.
Pak Adam mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Indriani. Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Indriani dan menghampirinya. Indriani yang sudah berharap tidak akan bertemu lagi dengan orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di mall sebesar dan seramai ini, Pak Adam bisa menemukan orang itu lagi?
“Selamat siang, mas.” Kata Pak Adam.
Orang itu memang lebih muda dari Pak Adam, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang yang tadi menggoda Indriani menatap ke arah Pak Adam dan menantunya.
“Ya?” pria genit itu mengernyitkan dahi.
“Kenalkan, nama saya Adam dan ini menantu saya, Indriani.” Kata Pak Adam sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.
“Saya Jaya.” Pria itu masih menjawab dengan pendek.
Tapi dia tidak melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Indriani dan mengelusnya sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya tangan Indriani. Si cantik itu sendiri ingin mati rasanya.
“Saya lihat tadi Mas Jaya tertarik dengan menantu saya, apa benar?” Tanya Pak Adam.
“Kalau iya kenapa?” Jaya menjilat lidahnya ke arah Indriani dengan sengaja, membuat Indriani makin jengah.
Dia menarik-narik ujung baju Pak Adam dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya rencana lain.
“Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda. Bahkan dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan sebentar saja dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda berikan padanya. Berulang kali dia meminta untuk kembali dipertemukan dengan anda.” Kata Pak Adam sambil melirik Indriani puas.
Indriani benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada Pak Adam dan Jaya. Pria yang bernama asli Sanjaya itu bagaikan baru saja menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir melompat dari kursinya dan hendak memeluk Indriani. Tapi Pak Adam menghentikannya.
“Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Jaya memakai menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu saya dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan siapapun juga menidurinya, kecuali anak saya.” Kata Pak Adam sambil menatap Jaya galak.
Jaya yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria genit itu menatap Pak Adam heran.
“Kalau tidak boleh dipakai, buat apa ditawarin?” Ucap Jaya dengan nada kesal.
“Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat kesepian. Bagaimana kalau Mas Jaya bermain-main sebentar dengan buah dadanya? Seperti yang mas Jaya lihat, Indriani tidak mengenakan bra dan ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil.” Kata Pak Adam.
Perlahan Indriani meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Adam sudah hampir membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya itu akan menyerahkannya pada pria menjijikkan ini. Jaya melonjak lagi.
“Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?” Tanya Jaya merasa dapat angin.
“Mas Jaya hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua.” Jawab Pak Adam.
“Setuju. Terserah kalian mau makan di mana.” Jaya langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Adam.
Dengan buru-buru Jaya menggandeng lengan Indriani dan menariknya ke kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak peduli lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap saji tadi. Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Indriani. Pak Adam tertawa sambil mengikuti mereka berdua dari belakang.
Jaya tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar kecil yang sepi, dia segera menubruk Indriani. Dengan kasar dia mengangkat blouse Indriani dan tidak mempedulikan airmata yang menetes di pipi wanita cantik itu. Indriani benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali pasrah.
“Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?” kata Jaya sambil terkekeh pada Indriani.
“Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar sombong, rasakan sekarang pembalasanku!” Ucap Jaya.
Dengan sekali tarik, blouse Indriani terangkat keatas. Perempuan cantik itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada Indriani meloncat keluar tepat di hadapan Jaya dan putingnya yang menunjuk ke depan mempesona pria genit itu.
Indriani kembali menjerit dan terisak saat Jaya dengan kasar meremas buah dadanya dengan gemas dan memainkannya dengan nakal. Indriani bisa merasakan jari jemari Jaya melingkari putingnya dan perlahan memencetnya. Karena tubuh Indriani dan Jaya berdempetan, Indriani bisa merasakan gumpalan kontol di selangkangan Jaya makin lama makin membesar.
Cukup lama Jaya meremas-remas buah dada Indriani dan mereguk kenikmatan darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu, akhirnya Pak Adam menghentikan ulah cabul Jaya pada menantunya. Jaya mengangguk tanda mengerti dan menghentikan serangannya pada dada Indriani. Wanita cantik itu jatuh luruh ke lantai sambil terus menangis terisak-isak.
“Maaf, Mas. Waktunya habis.” Kata Pak Adam.
“Wah… nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum menikmati buah dada itu seutuhnya.” Jaya ngos-ngosan menahan birahi yang sudah hampir memuncak.
“Saya ingin lebih, saya ingin menidurinya dan ngentot dengannya.” ucap Jaya.
Pria itu meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu lagi. Pak Adam tersenyum dan menggeleng.
“Maaf sekali, tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya masih harus menghormati dia.” Ucap Pak Adam.
Jaya menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong Pak Adam.
“Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM, kartu kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya ingin memek menantu bapak ini! Sekali saja!!” Ucap Jaya membentak keras.
Pak Adam menyeringai marah dan balas mendorong Jaya, di luar dugaan, ternyata Pak Adam jauh lebih kuat dari pria yang sedang birahi ini.
“Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya soal buah dada Indriani, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!! Memeknya hanya milik anakku!!” Balas Pak Adam tidak kalah keras.
Jaya menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan langkah lemas dia meninggalkan Pak Adam dan Indriani. Di luar dugaan, Pak Adam mendatangi Indriani dan memeluknya mesra. Indriani memeluk mertuanya itu erat dan menangis sejadi-jadinya.
Pak Adam mengelus-elus rambut Indriani dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa aneh, Indriani sedikit merasa terlindung ulah sikap Pak Adam yang tiba-tiba baik ini.
Jaya ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai.
“Seandainya bapak butuh uang dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi saya. Saya bukan orang yang kaya raya, tapi berapapun saya bayar untuk bisa menikmati memeknya.” Ucap Jaya.
Pak Adam menatap Jaya sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu nama itu dengan terkekeh.
“Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang. Siapa tahu Indriani suatu saat nanti kangen pada Mas Jaya.” Ucap Pak Adam.
Indriani kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh. Pak Adam dan Jaya.
“Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur murahan?” Indriani menjerit marah.
“Pak, saya ini menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini semua?” Kesabarannya sudah habis.
Plakk!! Tamparan Pak Adam mendarat di pipi Indriani. Bekas merah merona tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Indriani kembali menangis tak tertahankan.
“Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!” bentak Pak Adam.
“Maafkan menantu saya, Mas Jaya. Seandainya dia nanti merindukan remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi.” Ucap Pak Adam.
“Baik, saya tunggu telpon anda.” Kata Jaya sambil menyeringai puas. Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Indriani yang masih menangis. Indriani menatap mertuanya ketakutan.
“Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-upmu! Kuberi waktu sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas buah dadamu!” Perintah Pak Adam. Indriani segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.