AKSI PARA PRIA TUA
**Dina Kania**
Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi. Tapi ibu muda yang cantik itu tidak menonton tayangan sinetron di televisi. Dina terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Michael, bos kerja Hasan.
Pak Michael telepon tadi pagi dan bertanya apakah dia boleh datang berkunjung. Pak Michael mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Anehnya, saat ini Hasan justru tengah dinas keluar kota. Apa yang ingin disampaikan Pak Michael padanya?
Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Michael. Walaupun sudah tua, tapi pria yang rambutnya sudah beruban semua itu sangat besar dan masih terlihat gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah sangar penampilan Pak Michael. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT.
Dina bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh Pak Michael saat kemudian bel pintu berbunyi. Dina buru-buru membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Hasan berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.
“Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Michael memulai percakapan.
Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Michael bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Michael berlangsung di sebuah pesta perusahaan.
Saat itu Pak Michael bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Michael adalah seorang istri yang sangat ramah. Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia duduk dengan tenang.
“Baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda sendiri, dan Bu Michael, sehat-sehat saja kan?” Dina menjawab ramah.
“Baik. Baik. Ibu juga baik baik saja. Semua sehat.”
Dina melihat wajah Pak Michael mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya.
“Pasti Bu Hasan bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui ibu?” tanya Pak Michael.
“Betul Pak, saya cukup terkejut dengan telpon dari anda.. apalagi saat ini Mas Hasan sedang keluar kota dan..” ucap Dina terputus.
“Akan lebih baik kalau dia tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang soal serius pada Bu Hasan perihal bapak.” potong Pak Michael.
“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?” tanya Dina.
“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Hasan berjudi?” ucap Pak Michael.
Dina terkejut dan hampir pingsan, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri.
“Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Michael.” jawab Dina.
Pak Michael membuka tas kerjanya dan mengambil secarik amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalamnya. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam.
Dia hampir pingsan.
“Ini buktinya.” kata Pak Michael tenang.
Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Hasan saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Hasan sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Hasan merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Hasan saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar.
“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan.
“Itu tidak penting. Jadi patut diketahui oleh ibu, kalau kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Hasan. Dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.” ujar Pak Michael.
“Mencurigai! Kenapa?” tanya Dina kebingungan.
“Saya baru hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Hasan, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm, mematai-matainya.” jelas Pak Michael.
“Ini pasti kesalahan besar. Hasan tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.
“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Michael mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya itu.” lanjut Pak Michael.
Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap. Dina pingsan.
**Stella Wijaya**
“Stella.” panggil Rendra.
“Iya Mas?” jawab Stella.
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana? Aku kok tidak bisa menemukannya dimana-mana?” ucap Rendra.
“Ada kok, di dalam lemari.” jawab Stella.
Rendra selalu berharap Stella akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Stella sanggup melayani Rendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Stella sangatlah padat.
Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Kylie, menghidangkan sarapan.. terus berlanjut sampai Rendra berangkat kerja, Kylie diasuh Bu Kuncoro dan Stella sendiri berangkat bekerja. Saat Bu Kuncoro tidak datang, kehidupan Stella jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Kuncoro gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu.
Bu Kuncoro tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Rendra dan Stella sering memberi uang lebih pada Pak Kuncoro dan istrinya sebagai balas jasa. Sayangnya Stella kemudian mengetahui kehidupan gelap Pak Kuncoro. Pak Kuncoro adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Kuncoro dengan kasar.
Tanpa alasan yang jelas (kemungkinan besar karena kalah judi), Pak Kuncoro bisa menghajar Bu Kuncoro sampai bengkak dan biru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Kuncoro yang datang ke rumah Rendra selama beberapa hari. Stella mengasihani Bu Kuncoro, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri Pak Kuncoro? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Kuncoro menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.
Seandainya Rendra yang berlaku demikian, maka Stella akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Stella marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung. Stella hanya tertawa saat membayangkan Rendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMU dan Rendra adalah orang terbaik yang pernah ia kenal.
Suatu ketika Stella pernah menanyakan perihal alasan Bu Kuncoro bertahan, Bu RT itu hanya tertawa penuh kesabaran.
“Kamu belum tahu apa-apa. Mbak Stella belum mengerti apa-apa.” ujar Bu Kuncoro.
Tapi, Bu Kuncoro berjanji, setiap kali Pak Kuncoro berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Stella sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Kuncoro belum menampakkan batang hidungnya, dan Stella pun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Kylie, ayo habiskan makannya.” Kata Stella memperingatkan putrinya.
Putri kecil Stella punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Kylie masih seorang anak kecil. Stella melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.
“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan pemegang saham.” Kata Rendra sambil mencium pipi sang istri.
Melangkah keluar dari dapur, Stella dan Rendra mengangkat Kylie dari meja makan. Kalau Bu Kuncoro tidak datang, Rendra yang mengantarnya ke TK. Kalau sudah begitu, biasanya Kylie dititipkan pada neneknya yang kebetulan tinggal di dekat TK dan juga bersedia menampung Kylie. Rendra atau Stella akan menjemput Kylie nanti sore sepulang kerja.
Stella merasa pusing hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Stella juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Kylie. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Stella memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang.
Tapi bagi Stella, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna. Stella merapikan rambut sebahunya yang agak kusut.
“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggodamu.” Kata Rendra.
Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Stella sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Stella adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi.
“Mama, Kyl pegi duyu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.
“Iya. Ati-ati ya sayang.” Stella mengecup dahi Kylie.
“Aku pergi dulu, say.” Rendra pamit sambil menggandeng Kylie.
Stella melambaikan tangan pada mereka berdua. Ibu muda cantik itu ambruk ke atas ranjang setelah Rendra dan Kylie pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca tabloid. Stella bertanya-tanya kemanakah Bu Kuncoro hari ini.
**Dina Kania**
Saat kemudian terbangun, Dina sedang berbaring di sofa dan Pak Michael duduk di sampingnya.
“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Michael.
“Apa yang terjadi? Ya Tuhan, saya ingat. Tidak mungkin. Hasan tidak akan melakukan itu semua. Apa yang akan anda lakukan?” ucap Dina.
“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan kemari dan menemui Mbak Dina. Saya punya penawaran.” kata Pak Michael.
“Penawaran? Untuk saya? Apa yang bisa saya lakukan?” tanya Dina bingung.
Pak Michael tersenyum nakal.
“Begini, Bu Hasan, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.” jawab Pak Michael.
Dina mengangguk.
“Baiklah, Mbak Dina. Anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Hasan, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Hasan ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.” ucap Pak Michael menerangkan.
Dina sudah siap memprotes, tapi kemudian terdiam dan membiarkan Pak Michael meneruskan keterangannya.
“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya memberitahu anda saat ini karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…” ucap Pak Michael terputus.
“Berfoya-foya? Kami tidak minta apa-apa! Itu semua Mas Hasan yang membelikan!” teriak Dina panik.
“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Hasan harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.” lanjut Pak Michael.
“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anakku! Apa yang terjadi padanya? Sekolah dan lain-lain!” ujar Dina.
“Benar sekali. Itu sebabnya saya disini. Saya bukan pendendam. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Hasan telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan.. ahh, saya punya penawaran menarik.” ucap Pak Michael.
“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?” tanya Dina.
“Apakah anda berniat membantu Pak Hasan mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?” Pak Michael balik bertanya kepada Dina.
“Tentu saja.” jawab Si Cantik Dina.
“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?” tanya Pak Michael lagi.
“Apa saja.” balas Dina.
Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Hasan pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya. Dina akan sangat terkejut saat Pak Michael melanjutkan niatnya.
“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona.” ujar Pak Michael.
“Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.” jawab Dina.
“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya orang yang sangat kaya, jadi saya bisa melupakan uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika.. jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.” lanjut Pak Michael.
“Pak Michael, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?” ujar Dina.
“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?” pak Michael berucap.
“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?” tanya Dina.
“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau kamu ingin aku melupakan kelakuan suamimu dan kerugian yang diderita perusahaan, aku ingin kamu melayaniku. Tidur denganku. Aku ingin menggauli tubuhmu yang indah dan molek.” ujar Pak Michael terus terang.
Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock.
“Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!” Dina berteriak kencang.
Pak Michael perlahan memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja. Sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Michael berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu.
Setelah lima langkah, Pak Michael berhenti dan melirik ke belakang.
“Penawaran ini tidak akan aku ulangi, saat aku melangkah keluar dari rumah ini tanpa kau turuti kemauanku, pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera aku hubungi. Segera.” kata Pak Michael dingin.
Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Michael.
“Tunggu! Saya mohon, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan.
Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa banyak berpikir, Dina mengganguk lemah.
“Baiklah. Anda menang.” ucap Dina lirih.
“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?” tanya Pak Michael.
Dina ragu-ragu sesaat, matanya menatap ke lantai dengan hampa dan akhirnya dengan suara lemah dia menjawab.
“Iya. Saya tidak punya pilihan lain.”
“Bagus. Kalau begitu ayo kita buktikan saja.” Pak Michael duduk di sofa dan menunggu dengan santai. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Michael pun tersenyum puas.
“Lepaskan semua pakaianmu sambil bergoyang.” Perintah Pak Michael.
Bersambung…