Mama Tania berhasil kubuat terangsang. Kedua kakinya makin terbuka lebar. Tangannya mencengkeram kepalaku, tapi tidak bermaksud mendorongku.
Justru seolah memintaku untuk tak menghentikan jilatanku. Desahannya terdengar begitu merdu di telingaku. Desah perempuan yang terbakar birahi. Pinggulnya bergoyang seirama dengan permainan lidahku.
Tak perlu menunggu lama untuk babak berikutnya. Mama Tania ganti jongkok di depanku sementara aku bersandar di dinding. Saat ia menghisap milikku, kubuka dasternya. Kami telanjang lagi. Kunikmati setiap hisapannya, seakan itu adalah yang terakhir.
Selesai melakukan oral, Mama Tania berdiri dan langsung menciumku. Kuputar tubuhnya ke arah dinding. Sambil berciuman, kuangkat satu kakinya dan kubungkukkan sedikit tubuhku agar aku bisa menghunjamkan milikku ke milik Mama Tania. Ia memekik lirih, disusul dengan desahan panjang saat senjataku mentok di dalam miliknya.
Setelah beberapa genjotan, aku keluar dari kamar mandi dengan Mama Tania masih menggelayut. Gerakan saat berjalan menuju ranjang ternyata tak kalah nikmat, karena sama juga dengan bergoyang. Sampai di ranjang kurebahkan Mama Tania dan kami lanjutkan pertarungan babak kedua sampai tuntas.
Tak seperti kemarin, Mama Tania terlihat lebih rileks usai percintaan itu. Ia rebahkan tubuhnya di atas tubuhku yang masih terengah-engah, sehingga sperma yang kutumpahkan di perutnya menempel di perutku juga. Tapi ia sama sekali tak terlihat risi. Bahkan ia pun tak pelit bicara.
Lang, sebetulnya apa sih maksudmu?, tanyanya membuka percakapan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya.
Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu, jawabku.
Mama Tania yang semula merebahkan kepalanya di dadaku berpaling menatapku.
Tapi itu kan nggak mungkin, Lang. Gimana pun juga aku Mamamu, tukas Mama Tania.
Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Tania.
Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papah, lanjutku. Mama Tania mencubit mesra lenganku.
Mama pikir kamu cuma nafsu aja, kata Mama Tania dengan tatapan mata penuh selidik.
Nafsu itu kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta, kilahku.
Kalo cowok sih bisa aja, Lang, sergah Mama Tania.
Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat, lanjutnya.
Ya, tapi kan nggak semua cowok, aku tak mau kalah.
Iya deh, Mama ngalah, ujar Mama Tania.
Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?
Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?, tutur Mama Tania dengan nada manja. Aku nyengir.
Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo, selorohku. Lagi-lagi Mama Tania mencubitku.
Oh iya, tadi Papah telepon. Katanya minta dijemput jam 11, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Tania melihat perubahan air mukaku.
Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papah?!, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Tania sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.
Lagi yuk, Ma, ajakku spontan. Mama Tania menengadahkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan heran.
Memangnya masih bisa apa?
Coba aja, tantangku. Kubimbing tangan Mama Tania ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok milikku, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat senjataku siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Tania mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.
Tepat jam 11 aku dan Mama Tania sudah berada di bandara. Sekitar 15 menit kemudian kulihat Papah di antara para penumpang keluar dari gate kedatangan. Memang tampak kalau Mama Tania berusaha menjaga perasaanku. Tapi tak urung aku melengos buang muka saat Papah mengecup bibir Mama Tania begitu mereka bertemu.
Sekeluar dari bandara kami singgah di restoran untuk makan siang. Usai makan, aku minta langsung diantar ke kos, tapi Papah keberatan. Katanya ia capek sekali. Kalau harus mengantarku akan butuh waktu lama karena jauh. Ia berjanji malam harinya akan mengantarku.
Setiba di rumah Papah, aku langsung tiduran di kamar. Tapi aku tak bisa tidur karena pikiranku melayang membayangkan apa yang dilakukan Papah dan Mama Tania di dalam kamar mereka. Isengku pun kambuh.
Kunyalakan komputer. Aku ingin memastikan dugaanku. Ternyata benar. Di layar komputer aku melihat Papah dan Mama Tania berciuman sambil melepas baju masing-masing.
Artinya mereka baru mulai. Dengan jantung berdebar kusaksikan adegan percintaan mereka. Diam-diam aku terangsang melihat mereka bercumbu di ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Hanya saja tak berlangsung lama. Dari timer yang tertera di layar monitor, tak sampai 5 menit Papah sudah terkapar di sisi Mama Tania.
Aku pun kemudian mematikan lagi komputerku dan kembali rebahan di ranjang. Otakku terus berpikir. Mungkin Mama Tania melakukan masturbasi karena merasa tak puas dengan Papah.
Mungkin hal itu pula lah yang membuatnya tak menolak saat aku mulai mencumbuinya. Ada sepercik rasa bahagia telah memberi Mama Tania kepuasan batiniah.
Entah berapa lama aku melamun, hingga tak menyadari kalau Mama Tania membuka pintu kamarku. Di tangannya ada sesuatu.
Ngelamun aja, Lang. Mama kirain sudah tidur kamu, ujar Mama Tania sambil menutup pintu kamar lalu melangkah menuju ranjangku.
Aku menoleh ke arahnya seraya bertanya, Apa itu, Ma?
Mama Tania tersenyum penuh arti, Ini oleh-oleh dari Papah buat kamu. Ia sodorkan benda yang ternyata HP model terbaru saat itu.
Seketika aku bangkit dari berbaringku dan duduk di sebelah Mama Tania. Kubuka kardus pembungkus HP dan kuamati isinya.
Gimana, Lang? Suka nggak?, tanya Mama Tania.
Suka. Mana Papah, Ma? Aku mau bilang terima kasih, aku pura-pura tak tahu.
Lagi tidur, sayang. Entar sore aja ngomongnya ya, kata Mama Tania sambil mencolek hidungku yang kembang kempis karena dipanggil sayang. Wajahnya begitu dekat denganku, hingga aku terdorong untuk memagut bibirnya. Mama Tania menyambut pagutanku dan kami berciuman. Sebentar kemudian Mama Tania berdiri.
Udah ya. Mama balik ke kamar, katanya. Dengan berat hati kubiarkan Mama Tania berlalu dari kamarku. Ingin rasanya kucegah ia lalu mengajaknya bercinta lagi saat kupandangi tubuh mungilnya yang terbalut daster tipis dan sexy berjalan menuju pintu, tapi tak kulakukan. Tak etis rasanya menidurinya di saat Papah ada di rumah.
Obsesiku pada Mama Tania berpengaruh pada hubunganku dengan Nina. Aku jadi mengabaikannya. Malam minggu pun aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah Papah daripada mengapelinya. Tak heran jika kemudian kami putus.
Sebaliknya, hubungan gelapku dengan Mama Tania makin menggelora. Setiap ada kesempatan dan Mama Tania tidak sedang menstruasi, kami memadu kasih dalam balutan peluh birahi kenikmatan.
Dalam sebuah kesempatan, Mama Tania menceritakan padaku ihwal hubungannya dengan Papah yang notabene usianya dua kali usia Mama Tania.
Mama Tania adalah anak sulung dari sahabat Papah waktu kuliah, sebut saja namanya Pak Wira. Pak Wira yang tahu kalau usaha Papah sukses minta tolong pada Papah untuk mencarikan kerja buat Mama Tania yang baru lulus SMA.
Kisah klasik antara Papah dan Mama Tania pun terjadi. Papah jatuh cinta pada Mama Tania dan bilang kalau ingin menikahinya. Karena merasa berhutang budi, Mama Tania menerima pinangan Papah yang akhirnya menimbulkan kehebohan di keluarga besarku. Mama Tania tahu kalau istri Papah yang tak lain adalah Mama kandungku tak setuju.
Terkait dengan hubungan gelap kami, Mama Tania bilang kalau ia kerap dihantui rasa bersalah pada Papah. Tapi, sambil terisak ia mengatakan kalau ia juga jatuh cinta padaku ketika pertama kali bertemu di rumah sakit. Postur tubuhku yang tinggi besar membuatnya mengira kalau aku adalah anak sulung Papah.
Setelah hubungan intim malam itu sebenarnya Mama Tania bertekad tak ingin mengulanginya lagi. Tapi, seperti pengakuan Mama Tania, ia tak mampu menghalau hasratnya setiap kali berdekatan denganku. Cintanya padaku lah yang membuatnya pasrah padaku.
Aku termenung lama memikirkan curhat Mama Tania. Tapi seperti halnya dia, aku pun sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan tak ingin hubungan kami berakhir begitu saja.
Suatu sore, setahun sejak hubunganku dengan Mama Tania, Papah meneleponku saat aku dalam perjalanan pulang kuliah. Katanya, Mama Tania hamil. Ada nada gembira dari ucapannya.
Aku sempat kaget. Tapi aku yakin itu bukan benihku karena aku pakai kondom. Kalaupun tidak, selalu kukeluarkan di luar. Hanya saja, yang membuatku was-was, jangan-jangan Mama Tania tak bisa lagi kuajak bercinta karena sedang hamil.
Kekhawatiranku memang tak terbukti. Mama Tania masih mau memberiku jatah, tapi aku diminta untuk tidak terlalu heboh menggoyangnya, karena takut akan berdampak buruk pada janinnya.
Aku bisa memaklumi itu. Kami masih aktif melakukannya di malam minggu, saat Papah tak di rumah tentunya, sampai kandungan Mama Tania berusia 6 bulan. Ngocoks.com
Bulan ketujuh kehamilan Mama Tania, Papah memintanya untuk tinggal di rumah orang tua Mama Tania di kota B. Penyebabnya karena Papah makin sering melakukan perjalanan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Ia khawatir pada kondisi Mama Tania.
Aku merasa sangat kehilangan ketika Mama Tania akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Walaupun hanya sementara sampai bayinya lahir, rasa kehilanganku tak dapat kupendam.
Memang Mama Tania masih sering meneleponku, menanyakan kabarku, tapi aku tak sanggup jauh darinya. Di sisi lain, aku tak keberanian untuk sendirian mendatanginya di kota B, karena takut akan menimbulkan kecurigaan orang tua Mama Tania.
Ketika anak Mama Tania lahir, Papah yang sudah ada di kota B seminggu sebelumnya, menyuruhku datang ke kota B untuk menengok adik baruku. Setiba di rumah sakit, Mama Tania terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Ia tampak ceria dengan bayi mungil dalam gendongannya. Papah pun terlihat sangat bahagia.
Aku makin tak berharap bisa mengulang kebersamaan bersama Mama Tania ketika Papah memutuskan untuk pindah ke kota B. Rumah yang biasa ditempatinya dikontrakkan. Papah berpesan padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahku, karena ia ingin aku meneruskan kepemimpinan di perusahaannya. Aku tak terlalu memikirkan hal itu.
Tak dapat kupungkiri, kalau aku masih menyimpan hasrat pada Mama Tania, karena setiap kali mengunjunginya di kota B, gairahku muncul. Begitu kuatnya hasrat itu hingga ketika ada kesempatan berdua saja dengan Mama Tania, terucap kata kalau aku ingin melakukannya lagi.
Ada sepercik harapan saat Mama Tania menjawab, Gimana caranya? Keadaan kan nggak memungkinkan? Berarti Mama Tania pun masih membuka pintu kesempatan untukku. Hanya saja memang tak mungkin melakukannya, karena ada orang tua dan adik Mama Tania.
Saat itu Papah sedang mengunjungi Mama di kota S. Aku cuma bisa menunduk lesu. Tapi aku tak putus asa. Kucoba sebuah cara, walaupun aku tak yakin ia bersedia.
Mama mau nggak ke tempatku?, pintaku. Maksudku adalah hotel tempat aku menginap. Mama Tania tak segera menjawab. Ia cuma tersenyum sambil menimang-nimang bayi perempuannya yang tak lain adalah adik tiriku.
Di hotel, sepulang dari rumah Mama Tania, kuhabiskan waktu dengan melamun dan berharap Mama Tania datang. Tapi hingga aku ketiduran siang itu, harapan tinggal harapan. Yang kutunggu hadirnya tak kunjung datang sampai aku bangun lagi sore harinya.
Wajahku berubah ceria campur berdebar-debar ketika suara pintu kamarku diketok. Waktu itu aku habis mandi dan bersiap turun ke restoran hotel untuk makan malam. Aku nyaris meloncat kegirangan saat kulihat Mama Tania di depan pintu.
Spontan kuminta ia masuk ke kamar. Mama Tania bilang ia mau belanja susu untuk bayinya dan minta aku menemaninya. Tentu saja aku bersedia, tapi tak serta merta kami berangkat. Kami bercumbu lebih dulu, menyalurkan birahi yang lama terpendam.
Tampaknya Mama Tania pun menyimpan hasrat yang sama. Permainannya lebih hot dari sebelumnya, seolah tak ingin setiap detik terlewati sia-sia.
Dari pengalaman itu, hidupku kembali bergairah. Aku yakin telah menemukan cara lain untuk tetap berhubungan dengan Mama Tania. Tapi ternyata dugaanku salah. Tak ada kesempatan yang sama terjadi dua kali.
Beberapa kali setelah itu aku rajin mengunjungi Mama Tania di kota B, tapi harapanku untuk bisa menikmati kebersamaan di kamar hotel tak pernah kesampaian. Bukannya Mama Tania menolak, tapi keadaan yang tak memungkinkan. Aku harus menelan kekecewaan demi kekecewaan.
Akan halnya Mama Tania, hubungan kami tetap berjalan baik-baik saja, sebagaimana layaknya ibu dan anak. Tak lebih dari itu. Seakan ada semacam kesepakatan tak tertulis di antara kami berdua untuk mengakhiri cinta yang ada di hati kami.
Masa lalu kita biarlah berlalu, kata Mama Tania waktu itu. Tak boleh lagi ada cinta di antara kita berdua. Sulit, tapi memang itulah seharusnya, walaupun berat…