Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menyambar tas kerjaku dan melangkah ke tempat parkiran. Sesaat kemudian aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku, yang kularikan menuju rumahku.
Setengah jam kemudian aku sudah tiba di rumahku.
Seorang wanita separoh baya berdiri di ambang pintu rumahku. Wanita yang tinggi langsing, mirip Tante Martini. Tapi yang ini lebih putih. Ia menyambut kedatanganku dengan senyum ceria di bibirnya.
“Ini Wawan?!” sapanya waktu aku sudah berada di teras depan.
“Betul, “aku mengangguk sopan, “Ini Tante Ros?”
“Iya. Kamu pasti sudah lupa, karena waktu aku meninggalkan Indonesia, kamu masih sangat kecil.”
“Iya Tante,” sahutku yang lalu berjabatan tangan dengannya, disusul dengan mencium tangan yang kujabat itu.
Tante Rosida pun memeluk dan mencium sepasang pipiku. “Wawan… Wawan… kamu setelah dewasa jadi ganteng gini sih?!”
“Heheehee… Tante juga cantik sekali,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam, mengikuti langkah adik Ibu itu.
Setelah duduk di ruang tamu yang sudah diupgrade jadi l;umayan mewah ini, aku bertanya, “Suami Tante mana?”
“Suamiku sudah meninggal enam bulan yang lalu. Makanya aku pulang ke tanah air. Dan takkan kembali ke Belanda lagi.”
“Wah, turut berduka cita, Tante. Suami Tante sakit apa yang menyebabkannya meninggal?”
“Menderita kanker otak Wan. Sudah dibawa ke Jerman segala, tapi sia – sia aja. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Karena telanjur sudah stadium akhir.”
Tak lama kemudian Ibu pun muncul di ruang tamu. Meraba – raba dan duduk di sampingku.
“Wati mana Bu?” tanyaku.
“Lagi ke salon sama temannya. Dari tadi pagi belum pulang – pulang. Mungkin terus ke kota, lihat – lihat pakaian dan sebagainya,” sahut Ibu.
“Jelaskan aja apa yang kamu katakan tadi Ros,” kata Ibu kepada adiknya, “Siapa tau Wawan bisa membantumu.”
Tante Ros mengangguk. Lalu menoleh padaku, “Banyak sih yang butuh bantuanmu Wan. Pertama, aku minta dicarikan rumah yang bagus dan mau dijual. Kedua, minta diantar ke dealer mobil, karena akuj pasti kepayahan kalau gak punya mobil. Ketiga, aku minta dibikinkan SIM. Karena SIM Belandaku gak berlaku di sini.
“Tante gak punya SIM internasional?”
“Nggak. Tapi di Belanda sih SIMnya berlaku untuk di negara – negara tetangga. Tapi kayaknya gak berlaku di Indonesia sih. Mmm… bagaimana? Bisa bantu aku gak?”
“Bisa Tante. Kebetulan ada rumah bagus di kompleks perumahan elit yang maui dijual. Kalau Tante berkenan, sekarang juga rumahnya bisa dilihat,” ucapku.
“Ayo kalau begitu sih. Lebih cepat lebih baik. Nanti ngobrolnya lanjutin di jalan aja,” ucap Tante Ros sambil bangkit dari sofa.
Beberapa saat kemudian Tante Ros sudah duduk di dalam sedan hitamku.
“Kamu sudah jadi orang sukses ya Wan. Mobil ini di Eropa juga mahal sekali,” ucap Tante Ros ketika sedan hitamku mulai kujalankan.
Aku tidak menanggapinya. Bahkan bertanya, “Tante sudah punya anak berapa?”
“Belum punya Wan,” sahutnya, “Suamiku kan sudah tua. Waktu menikah denganku aja bedanya sampai tigapuluh tahun. Waktu aku nikah, usiaku baru tujuhbelas. Suamiku sudah empatpuluhtujuh tahun.”
“Wah waktu meninggal umurnya sudah mencapai enampuluhan kali ya?”
“Umurku sekarang sudah tigapuluhtujuh. Berarti waktu dia meninggal, umurnya sudah hampir enampuluhtujuh.”
“Pasti meninggalkan warisan yang sangat banyak ya Tante?”
“Banyak sekali sih nggak. Cuma ada laaah… untuk kebutuhanku setelah tinggal sendirian begini. Makanya aku ingin berbisnis di sini. Kira – kira bisnis apa ya Wan?”
“Dana yang mau dikeluarkan untuk bisnisnya berapa Tante?”
Tante Ros membisikkan nominal dana yang dimilikinya.
“Cukup nggak untuk berbisnis di Indonesia?”
“Cukup Tante. Tapi harus memproduksi sesuatu yang bagus prospeknya.”
“Terus yang megang perusahaannya siapa?”
“Tante sendiri pasti bisa. Aku bisa membimbing dari belakang layar.”
“Nggak mau ah. Aku gak ada pengalaman dalam berbisnis, apalagi di Indonesia yang sudah duapuluh tahun kutinggalkan. Kamu aja yang pegang. Mau kan?”
Aku berpikir keras. Jumlah dana yang akan dikeluarkan oleh Tante Ros bukan dana yang sedikit. Tapi bisakah aku menanganinya? Bukankah aku sudah memegang dua perusahaan besar?
“Mau ya Wan. Kamu aja yang mengendalikannya. Aku mau duduk manis aja. Mau dong… mau…! “desak Tante Ros.
“Mmm… aku sudah memegang dua perusahaan. Kalau memegang perusahaan Tante pula, berarti aku akan memegang tiga perusahaan. Bakalan kepegang nggak ya?”
“Kamu kan bukan harus mengerjakan dari A sampai Z. Kamu cukup duduk sambil memonitor perusahaan aja. Mungkin dari tempat lain pun bisa memonitornya Wan.”
“Teorinya sih memang begitu. Seorang leader harfus bisa main golf atau jalan – jalan ke luar negeri, tapi perusahaan berjalan terus secara positif. Tapi dalam prakteknya tetap aja harus sering turun ke lapangan Tante.”
“Terus gimana dong? Tolonglah tantemu ini Wan. Kalau dana itu tidak diputar, lama kelamaan bisa habis. Itu yang paling kutakutkan.”
“Iya deh. Demi tanteku yang cantik ini, kuterima keinginan Tante itu,” ucapku di belakang setir.
“Nah gitu dong. Baru namanya keponakan tersayangku. Emwuaaaah…” ucap Tante Ros yang diakhiri dengan kecupan hangat di pipi kiriku. Membuatku kaget juga, karena tak menyangka akan mendapat kecupan hangat itu.
“Ini sudah sore banget Tante. Ke dealer sih besok pagi aja ya,” kataku.
“Iya gak apa – apa. Tapi sepulangnya lihat rumah, antewrin aku ke hotel nanti ya.”
“Oke Tante. Memangnya Tante udah cek in?”
“Udah. Aku kan datang kemaren sore. Langsung cek in di hotel itu. Tadi pagi baru mencari rumahmu. Sambil takut udah pindah pula. Setelah nyasar – nyasar, akhirnya ketemu juga. Kota ini sudah banyak perubahannya ya.”
“Iya dong. Semua kota di negara kita sudah banyak perubahannya selama duapuluh tahun belakangan ini Tante. Masa mau tetap seperti dahulu aja.”
Tanpa terasa aku sudah berada di kompleks perumahan elit yang letaknya agak di luar kota. Memang ada rumah yang sudah kubayar lunas. Niatku memang untuk dijual lagi. Kebetulan sekarang ada calon buyernya, yang duduk di sebelah kiriku ini. Hahahaaa… mudah – mudahan aja aku dapat keuntungan. Meski tak perlu banyak – banyak, karena calon pembelinya tanteku sendiri.
Karena ngobrol dengan Tante Ros di dalam mobil, sehingga tak terasa sudah tiba di kompleks perumahan elit ini.
“Ini kompleks perumahan?” tanya Tante Ros setelah mobilku melewati gerbang paling depan.
“Betul Tante. Di sini aman dan nyaman suasananya,” sahutku sambil membelokkan mobilku ke kiri, menuju kelompok rumah yang salah satunya mau ditawarkan kepada Tante Ros itu.
“Bagus – bagus rumahnya ya.”
“Iya Tante. Nah… ini rumahnya,” kataku sambil menghentikan mobilku tepat di depan rumah yang akan kutawarkan kepada Tante Ros itu.
Aku pun mengeluarkan serangkai kunci – kunci rumah itu.
Tante Ros terbengong – bengong setelah menyaksikan keadaan di dalam rumah itu. Terlebih setelah melihat di bagian belakangnya ada kolam renang segala.
“Tante suka rumah ini. Mau dijual berapa?” tanyanya.
Aku menyebutkan harga rumah ini, setelah dilebihkan “sedikit” dari harga pembeliannya.
Tante Ros berpikir sejenak. Lalu bertanya, “Harga itu bisa ditawar nggak?”
“Nggak bisa Tante. Sudah harga mati,” sahutku.
“Memang tidak kemahalan juga sih harganya. Lalu kapan bisa diketemukan dengan pemiliknya?”
“Sekarang Tante sedang bersama pemiliknya,” sahutku.
“Haaa? Rumah ini punyamu?”
“Betul Tante. Tadinya rumah ini mau kupakai sendiri. Tapi karena Tante membutuhkannya, mau kujual aja sama Tante. Aku sih gampang, bisa nyari lagi yang lain.”
“Begitu ya? Ya udah. Tante bayar pakai cek ya. Tapi rumah ini masih kosong melompong. Besok setelah ke dealer lanjutkan antar aku ke toko furniture dan perabotan rumah yang bagus tapi jangan yang terlalu mahal harganya ya.”
“Siap Tante. Sekarang mau terus ke mana?”
“Cari rumah makan yang khas Indonesia aja. Aku udah rindu sama masakan Indonesia.”
“Mau rumah makan Padang, Sunda atau Jawa?”
“Sunda aja deh. Biar bisa makan lalapan dan sambel dadakan.”
“Oke, “aku mengangguk. Lalu kami tinggalkan rumah yang sudah dibeli oleh Tante Ros itu. Tinggal pembayarannya saja yang belum.
Meski agak jauh, sengaja kubawa Tante Ros ke rumah makan yang benar – benar khas Sunda, yang letaknya di luar kota. Di rumah makan itu konsumen dimanjakan dengan musik dan bangunan tradisional Sunda. Gubuk – gubuk kayunya pun berada di atas kolam ikan. Sehingga konsumen bisa melemparkan sisa makanan ke kolam, yang pasti disambut oleh ikan – ikan itu.
Di rumah makan itu kami memesan bakar gurame besar, beberapa potong goreng ayam kampung dan sayur lodeh. Dan yang sangat disukai oleh Tante Ros adalah sambel dadakan itu, berikut lalapannya yang bermacam – macam.
“Di Eropa kalau mau makan seperti ini harganya bisa mahal sekali,” ucap Tante Ros setelah selesai menyantap makanan yang dirindukannya.
Aku cuma mengangguk – angguk sambil tersenyum. Padahal aku tidak sedang membayangkan makanan. Yang kubayangkan adalah seksinya adik Ibu itu.
Ya putih mulus ya seksi pula.
Apakah jiwa incestku sudah hadir lagi?
Entahlah. Yang jelas ketika aku sudah mengemudikan mobilku menuju hotel yang terletak di pusat kota itu, terawanganku terus – terusan membayangkan betapa menggiurkannya tubuh Tante Ros itu kalau sudah telanjang…!
Lalu batinku bergulat… Gila lu Wan! Masa adik kandung ibu lu juga mau diembat? Jangankan adik ibu, sedangkan ibu kandung juga gue embat! Iya gila Lu Wan! Kakak kandung lu juga diembat! Belum lagi yang lainnya! Sebodo amat! Gue kan gak maksa siapa pun! Apa yang telah terjadi selalu berdasarkan suka sama suka!
Tiba – tiba aku teringat sesuatu yang bukan masalah seksual. Aku teringat pabrik hadiah dahsyat dari Tante Martini itu. Lalu kenapa aku susah – susah nyariin bisnis untuk Tante Ros? Kenapa tidak kutawarkan saja untuk menanamkan investasinya di pabrikku saja? Kalau nggak, aku bisa menjual saham pabrik itu padanya…
Nanti saja di hotel aku akan membahas masalah itu sebelum pulang.
Sementara itu hari mulai gelap. Sudah hampir jam tujuh malam.
“Wan… kan besok mau ke dealer, mau beli furniture, barang – barang elektronik dan perabotan rumah. Supaya gak ribet, udah aja nginep di hotel malam ini. Besok pagi kan mau ke dealer dan belanja peralatan rumah.”
Aku sok jual mahal. Seperti memikirkannya dulu. Padahal hatiku sudah bilang mau… sangat mau.
“Mau kan?”
Aku masih berlagak memikirkannya.
“Nanti aku kasih sesuatu yang enak sekali.”
“Apaan tuh yang enak? Makanan Belanda?”
Tiba – tiba Tante Ros mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “Memekku… mau nggak?”
“Mauuuu… !” seruku serasa meledak dari mulutku.
“Hihihihiii… serius?”
“Serius Tante.”
“Gak risih karena aku ini adik ibumu?”
“Nggak. Aku melihat Tante secara jelas kan baru hari ini. Makanya aku akan menganggap Tante orang luar aja.”
“Sama, aku juga mikir begitu sejak tadi. Kamu memang keponakanku. Tapi menyaksikanmu setelah dewasa baru hari ini,” ucap Tante Ros sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Sudah setahun lebih memekku gak pernah disentuh kontol Wan.”
“Iya. Nanti digasak abis – abisan sama kontolku deh.”
“Hihihiiii… untung aku punya keponakan yang ganteng dan mau nakal juga. Kalau kamu terlalu alim, mati kutu aku.”
“Justru dari tadi aku sedang membayangkan Tante terus…”
“Membayangkan apa?”
“Membayangkan Tante telanjang…” sahutku sambil menurunkan zipper celana denimku, “Makanya diem – diem kontolku ngaceng terus Tante. Nih pegang kalau gak percaya sih…” kataku sambil menarik tangan kanan Tante Ros dan kutempelkan di kontolku yang sudah kusembulkan di kegelapan malam.
“Waaaaw! Kontolmu segede dan sepanjang ini Wan?!” seru Tante Ros sambil menggenggam kontolku yang memang sudah ngaceng ini.
“Almarhum suami Tante kan orang bule. Tentu kontolnya lebih gede daripada kontolku ini.”
“Nggak Wan. Punya almarhum sih tergolong kecil. Lagian lelaki yang sudah tua, kontolnya suka mengecil, kata orang. Kontolmu ini jauh lebih panjang dan jauh lebih gede Wan. Gak nyangka aku bakal ketemu keponakan yang kontolnya gagah perkasa gini. Jadi pengen ngemut…” ucap Tante Ros sambil mendekatkan mulutnya ke kontolku.
Tapi cepat kuhalangi mulut Tante Rossambil berkata, “Jangan Tante… aku kan laqgi nyetir nih. Bisa celaka kita nanti. Entar aja di hotel, mau diapain juga silakan.”
“Hihihiiii… gemes soalnya. Aku ini spermania Wan.”
“Maksudnya?”
“Seneng nelan air mani. Makanya suamiku sangat sayang padaku, karena aku sering minum spermanya. Buat menghaluskan kulit muka.”
“Pantesan wajah Tante mulus gitu. Mmm… sebentar lagi juga kita nyampe Tante,” ucapku sambil memasukkan kembali kontolku ke balik celana dalam. Lalu menarik zippernya lagi.
Tak lama kemudian aku sudah menghentikan mobilku di pelataran parkir sebuah hotel bintang lima.
Kujinjing tas kerja dan tas pakaianku sambil berjalan di belakang Tante Ros.
Ternyata kamar yang dibooking Tante Ros berada di lantai tertinggi hotel itu, di lantai lima.
Setibanya di dalam kamar itu, aku duduk di sofa sambil berkata, “Kita bicara soal bisnis dulu ya Tante. Biar birahi kita semakin mateng.”
“Iya tapi sebentar, mau ganti pakaian dulu Wan,” sahut Tante Ros sambil mengeluarkan sehelai kimono berwarna orange dari tas pakaiannya yang diletakkan di atas meja makan. Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.
Tak lama kemudian Tante Ros muncul dari kamar mandi, sudah mengenakan kimono berbahan wetlook orange polos itu.
“Jadi mau bahas bisnis yhang gimana nih?” tanya Tante Ros sambil duduk merapat di samping kiriku.
“Tiga hari yang lalu aku baru membeli sebuah pabrik yang sudah berjalan bagus. Karena suaminya meninggal, pabrik itu dijual padaku.”
“Terus?”
“Bagaimana kalau Tante menginvestasikan dananya di pabrik itu? Atau bisa juga beli sahamku. Kalau perlu sahamku dibeli seratus persen juga gak apa – apa.”
Kemudian kujelaskan pabrik itu memproduksi apa saja. Dan pemasarannya tetap mengandalkan pasaran lokal.
“Kalau aku beli sajhamnya aja gimana?”
“Boleh,” sahutku sambil mengeluarkan berkas mengenai seluk beluk pabrik itu, berikut laporan kleuangannya secara tertib dan rutin. Dan ketika membaca bagian company capital, dia tertegun dan berkata, “Wooow… besar sekali company capitalnya Wan. Paling mampu juga aku hanya bisa beli saham di bawah limapuluh persen.
“Boleh Tante. Mau berapa juga Tante membeli sahamnya, terserah Tante. Bahkan mau beli satu persen juga boleh. Tapi hasilnya, tentu sedikit.”
“Satu persen sih sama juga bohong. Aku beli sahamnya empatpuluhlima persen deh. Tapi aku ingin lihat dulu pabriknya. Gimana?”
“Tentu aja boleh. Supaya jangan seperti jual kucing di dalam karung. Tapi kalau besok mungkin belum bisa. Kan Tante mau beli mobil dan perabotan rumah. Beli mobil sih gampang, Dalam setengah jam aja bisa selesai. Tapi perabotan rumah itu yang bertele – tele nanti. Jenisnya kan banyak. Belum tentu pula tersedia lengkap di satu toko.
“Perabotan rumah sih utamakan furniturenya aja dulu. Yang penting dahulukan beli tempat tidur, lemari – lemari dan sofa. Biar aku jangan nginep di hotel terus gini.”
“Siap Tante Cantik,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke paha putih mulus yang tersembul lewat belahan kimononya.
Tante Ros cuma tersenyum. Bahkan ketika tanganku merayapi kehangatan pahanya sampai pangkalnya, dia masih tersenyum. Justru aku yang agak kaget, karena menyentuh jembut yang lebat di balik kimono orange itu.
“Banyak jembutnya ya…” ucap Tante Ros dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipiku, “seneng memek berjembut apa seneng yang gundul?”
“Sama aja Tante,” sahutku, “Yang gondrong dan yang gundul, punya kelebihan masing – masing.”
“Almarhum suamiku tidak suka sama memek yang dicukur gundul. Dia ingin agar aku memelihara jembut, hanya perlu dirapikan saja. Karena menurut almarhum, memek berjembut itu seolah mengandung misteri. Seperti lukjisan wanita telanjang pelukis -pelukis terkenal di dunia, selalu menggambarkan wanita dengan kemaluan berjembut.
Kalau tanpa jembut, memek itu jadi jelek bentuknya dia bilang. Jadi kayak padang pasir gersang tanpa tumbuh – tumbuhan. Bahkan dia bilang kayak tofu kebanting dan pecah berantakan di lantai. Hihihiiii,” ucap Tante Ros sambil berdiri di lantai dan menanggalkan kimono orangenya. Dia memang tidak mengenakan bra mau pun celana dalam di balik kimono itu.
Sehingga ketika kimono itu dilepaskan, dia langsung menjadi telanjang bulat. Telanjang yang membuatku terlongong. Karena aku menyaksikan tubuh yang putih mulus tanpa cela setitik pun. Semua serba proporsional bagiku. Kurus tidak.. montok pun tidak. Mungkin bentuk tubuh seperti inilah yang dikehendaki untuk seorang wanita model.
“Kenapa bengong?” tanya Tante Ros sambil tersenyum manis.
“Tante laksana patung Dewi Venus yang bernyawa… dan seolah diciptakan untukku. Untuk kunikmati,” sahutku sambil menciumi pentil toketnya, pusar perutnya dan bahkan juga jembutnya yang tercukur rapi.
Tante Ros tersenyum. Lalu menanggalkan pakaianku sehel;ai demi sehelai, sampai telanjang seperti dia. Kemudian dia meraihku ke arah bed.
Dan ketika aku sudah celentang di atas bed berseprai putih bersih itu, Tante Ros melakukan apa yang diinginkannya di dalam mobil tadi. Mulutnya menyergap batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini. Lalu ia mengoralnya dengan trampil sekali.
Mungkin semasa suaminya masih hidup, ia harus selalu melakukan hal ini. Karena suaminya sudah tua, sehingga harus selalu dibangkitkan gairahnya, agar penisnya ereksi.
Dan tampaknya orang bule harus selalu main oral secara bergantian sebelum penetrasi. Konon lelaki bule tidak selalu sempurna ereksinya. Sehingga pada saat bersetubuh pun harus diselingi dengan permainan oral lagi, agar penisnya yang melemas itu ngaceng lagi. Dan sekalinya ngaceng pun tidak keras seperti bangsa kita.
Dan lucunya, mereka begitu banyak melakukan foreplay. Tapi setelah eksekusi, hanya sebentar… lalu crooooottttt… seperti ayam. Hihihihiiii…!
Mulut dan tangan Tante Ros sudah sangat terlatih. Bibir dan lidahnya begitu trampil menggeluti puncak dan leher kontolku, sementara jemarinya pun sangat trampil untuk mengurut – urut badan kontolku yang sudah berlepotan air liurnya. Padahal aku tidak membutuhkan ini semua. Kontolku sudah ereksi total sejak tadi.
Setelah Tante Ros melepaskan kontolku dari dalam mulutnya, maka giliranku kini untuk menggasak memek berjembutnya itu.
Kalau dipikir kata- kata Tante Ros itu memang benar. Dengan adanya jembut, kemaluan perempuan seperti menyimpan misteri yang membuat penasaran. Dan juga meninggalkan kesan subur, tidak gersang seperti padang pasir.
Sementara kalau memek dibuat plontos, langsung kelihatan bentuk aslinya. Tidak membangkitkan penasaran lagi.
Jadi buatku, baik memek gondrong atau botak, punya kelebihan masing – masing. Kelebihan yang bisa kunikmati kini. Bahwa ketika wajahku sudah berhadapan dengan memek berjembut tapi tergunting rapi itu, dengan penuh gairah kuciumi jembutnya yang ternyata memancarkan harum wewangian khas. Mungkin semacam wewangian aroma therapi.
“Harum seklai memeknya Tante,” ucapku sambil menyibakkan jembut Tante RTos ke kanan kirinya, sehingga belahannya mulai tampak di mataku. Lalu kungangakan belahan itu, sehingga tampak bagian dalamnya yang berwarna pink.
Bagian dalam yang berwarna pink itulah sasaran lidah dan bibirku. Tante Ros pun mulai menggelinjang sambil mengusap – usap rambutku.
Entah kenapa, bentuk dan gaya Tante Ros ini membuatku jadi sangat bergairah untuk melakukan semuanya ini. Menjilati bibir dalam dan setiap lekuk yang ada di bagian yang berwarna pink itu. Lalu menyasar kelentitnya yang nyempil sebesar kacang kedelai. Yang nyempil ini kujilati habis – habisan disertai dengan isapan isapan kuat.
Tante Ros tak cuma menggeliat dan mengejang. Dia juga mendesah dan merintih erotis, “Oooooh… Waaawaaaaaan… ooooohhhh… Waaaaan… ini… enaknya setengah matiiiiiiiii… jilatin teruuuuussss sampai orgasme Waaaaaaan… itilnya jilatin teruuuuusssss… itilnyaaaaa… oooooohhhhh …
Tapi aku tidak mengikuti keinginan Tante Ros sepenuhnya. Aku tdak mau menjilatinya sampai orgasme, karena nanti aku cuma bakal kebagian beceknya doang.
Maka setelah aku merasa cukup banyak mengalirkan air liurku ke dalam liang memek Tante Ros, langsung saja aku jauhkan mulutku dari liang memeknya. Cepat kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek wanita setengah baya itu.
Sebelum itu Tante Ros sudah mengangakan memeknya. Mungkin untuk mempermudahkanku melakukan penetrasi ke dalam memek berjembut itu. Sehingga jelas benar bagian dalam memek Tante Ros yang sudah basah kuyup oleh air liurku itu.
Dan dengan sewkali dorong… blesssssss… batang kemaluanku langsung membenam ke dalam liang memek adik kandung ibuku itu.
Kontolku membenam lebih dari separuhnya. Disambut dengan pelukan hangat Tante Ros, “Ooooohhhh… semangat hidupku jadi bangkit lagi Wan… ayo setubuhi aku seperkasa mungkin…” ucapnya setengah berbisik.
Disusul dengan ayunan kontolku yang mulai bermaju mundur di dalam liang memek Tante Ros. Memang memek berjembut ini menimbulkan sesasi tersendiri, yang tak kutemukan pada memek plontos tanpa jembut.
Sehingga dengan penuh semangat aku makin menggencarkan entotanku, sampai pada kecepatan standard.
Mengingat Tante Ros calon investor bagiku, seharusnyalah aku membuat kepuasan baginya. Terlebih lagi mengingat putih mulusnya sekujur tubuh tanteku yang satu ini. Sehingga mirip patung Dewi Venus yang terbuat dari batu pualam itu.
Desahan dan rintihan histerisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel bintang lima ini. “Waaaa… waaaaan… aaaaah… aaaaaahhhhh… ini… luar biasa enaknya Waaaaaaan… ooooh… ooooohhhhh… kontolmu pakai apa sih? Selain panjang gede kok rasanya enak sekali Waaaan…”
“Kontolku cuma pakai perasaan Tante. Ini memang kejutan bagiku. Karena tak menyangka aku bisa ngentot bibiku sendiri… dan ternyata… memek Tante luar biasa sedapnya… gurih dan legit Tanteee…” sahutku terengah.
“Syukurlah kalau enak Wan… entotlah aku sepuasmu… ewean sama kamu sih sehari sepuluh kali juga aku mauuuuu…”
“Hihihi… Tante masih ingat sama istilah ewean segala…”
“Kita memang lagi ewean kan?” ucap Tante Ros sambil memijat hidungku.
Entah kenapa. Aku ingin memperlihatkan keperkasaanku kali ini, karena sudah “ditantang” oleh Tante Ros tadi.
Karena itu aku mulai meremas toket kanannya dengan tangan kiriku, sambil mencelucupi puting toket kirinya. Sementara entotanku justru kugencarkan.
Gila… memang licin liang memek tanteku ini. Tapi gurih dan legitnya… minta ampun…! Kenyataan itu membuatku semakin bergairah untuk menggenjot kontolku yang bergerak seperti pompa manual, maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang memek Tante Ros.
Tak cuma itu. Aku ingin tahu apakah titik terpeka di badan Tante Ros sama dengan titik terpeka di badan Tante Martini atau tidak. Maka ketika aku sedang gencar – gencarnya mengentot liang memek legit nitu, mulutku mulai nyungsep di ketiaknya yang bersih dari bulu. Lalu di situ aku tak cuma menjilatinya, tapi juga menggigit – gigit dan menyedot – nyedot.
Haaa… ternyata sama dengan Tante Martini…!
Tubuh Tante Ros terasa bergetar – getar dan mengejang – ngejang. Rintihannya pun berlontaran terus, “Oooo… ooooo… oooooh… Wawaaaaaan ini smekain enak Waaaan… gila… ini pertama kalinya ketekku dijil;atin… memang geli tapi enak Waaan… ooooh… entot terus Waaaaan… enak sekaliiii…
Tante Ros merintih dan merintih terus. Tapi karena dia sangat lama bermukim di Nederland, pinggulnya tak sedikit pun bergoyang seperti goyangan pinggul Tante Martini. Mungkin karena di negara bule, goyang pinggul tidak terlalu penting. Tidak ada goyang karawang di negaraku.
Dan aku tak peduli hal itu.
Yang jelas, sekitar duapuluh menit aku mengentotnya, Tante Ros mulai gedebak – gedebuk. Lalu terdengar suara, “Aku mau datang… ini udah mau datang… aaaaa…”
Lalu ia mengejang dengan mulut ternganga.
Aku pun mempercepat entotanku. Sampai ketika ia tiba di titik klimaks, kubenamkan kontolku sedalam mungkin. Moncong kontolku pun mentok di dasar liang memeknya. Pada saat itu pula terjadi sesuatu yang teramat indah dan paling kusenangi.
Bahwa liang memek Tante Ros mengejut – ngejut, disusul dengan gerakan sekujur liang sanggamanya yang seperti spiral dan seolah mau mendorong kontolku ke luar. Tapi tentu saja takkan kubiarkan kontolkui “termuntahkan”. Karena aku belum apa – apa. Masih jauh dari tanda – tanda mau ejakulasi…!
Tante Ros klepek – klepek. Lalu terkulai di bawah himpitan dan pelukanku.
Kutunggu sampai Tante Ros pulih lagi fisiknya. Beberapa menit kemudian matanya terbuka dan menatapku dengan sorot puasnya seorang wanita yang baru mencapai orgasme.
Pada saat itrulah kuayun lagi kontolku di dalam liang memek Tante Ros yang sudah semakin licin, tapi tidak becek. Bahkan masih tetap legit. Membuatku semakin bergairah untuk mengentotnya lebih massive dari sebelumnya.
Tante Ros tampak senang. Ia bahkan menawarkan untuk berganti posisi, jadi posisi doggy.
Aku setuju. Tante Ros pun segera merangkak dan menungging.
Sambil berlutut kubenamkan kontolku ke dalam liang memek Tante Ros yang berada di bawah mulut anusnya. Dengan mudah kontolku bisa langsung melesak amblas ke dalam liang memek yang masih basah oleh lendir libido Tante Ros. Blessssss …
Posisi doggy yang sedang kulakukan bersama adik kandung Ibu itu membuatku teringat kepada ibunya Euis yang sudah kubiasakan memanggilnya Ema itu.
Masalahnya, belum apa – apa Tante Ros berkata sambil menungging, “Spanking aja nanti ya.”
“Siap Tante… hihihiiii…”
Maka ketika sambil berlutut kuentot liang memek Tante Ros itu, aku tak sekadar berpegangan kepada bokongnya yang indah itu. Aku mulai melakukan spanking pada bokong indahnya. Kukemplangi dengan tamparan – tamparan keras sepasang buah pantat tanteku, sementara kontolku tewtap gencar mengentot liang memeknya…
Bunhyi tamparan – tamparan di sepasang buah pantat Tante Ros itu diiringi dengan bunyi unik yang ditimbulkan oleh gerakan kontolku di liang memeknya yang sudah basah tapi tidak becek itu. “Crekkkk… srttttt… creeeekkkk… stttttt… crokkk… srtttt… craaakkkkkkk… srttttt… creeeekkkkkkkk…
Terkadang aku merayapkan tanganku ke selangkangan Tante Ros. Lalu mencari – cari sesuatu. Mencari – cari itilnya…!
Dan setelah menyentuihnya, aku bisa mengentotnya sambil menggesek – gesekkan ujung jariku di kelentit Tante Ros…!
Karuan saja Tante Ros merengek – rengek keenakan. “Wawaaaaan… ooooohhhh… kamu luar biasa jagonya Waaaan… iyaaaaa… entot terus sambil elusin itilku Waaaaan… ini luar biasa Waaaan… fantastis dan sensasionaaaaallll… iyaaaaaa… iyaaaaaa…”
Namun dalam posisi doggy ini pula Tante Ros ambruk di puncak orgasmernya. Dengan tubuh bermandikan keringat.
Kemudian ia duduk sambil menyeka keringatnya dengan beberapa lembar kertas tissue basah. Lalu ia celentang lagi sambil berkata, “Kamu luar biasa Wan. Aku ingin hubungan kita tetap berjalan sampai kita sama – sama tua ya.”
Tante Ros celentang sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya lebar – lebar. “Iya Tante… aku pun akan selalu membutuhkan Tante…” sahutku sambil membenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Tante Ros yang sudah siap untuk melanjutkan persetubuhan ini sampai selesai.
“Diapain sih kontolmu Wan? Kok bisa kuat sekali…” ucap Tante Ros ketika aku sudah berhasil membenamkan kontolku sampai menyentuh dasar liang memeknya.
“Gak diapa – apain Tante. Udah dari sononya begini.”
“Aku langsung puas waktu orgasme pertama tadi. Orgasme kedua lebih puas lagi. Berarti ada kemungkinan mau orgasme lagi nih… berarti pertama kalinya dalam hidupku bisa orgasme dua kali. Apalagi kalau tiga kali… pasti lebih edan lagiiii… aaaah… edaaaaan… kontolmu iniiiiiii…
Ini semua membuat gairahku bangkit sejadi – jadinya. Bahkan gesekan antara kontolku dengan dinding liang memeknya, berkali – kali membuatku terpejam saking nikmatnya.
Tapi aku berusaha mengulur durasi ejakulasiku dengan membayangkan yang buruk – buruk dan menjengkelkan.
Tapi baru belasan menit aku mengentot Tante Ros dalam posisi missionary ini, tiba – tiba dia berkelojotan lagi. Sehingga konsentrasiku terpaksa dipusatkan lagi, agar bisa ejakulasi berbarengan dengan orgasme Tante Ros.
Maka kupercepat entotanku dan moncong kontolku terus – terusan menyundul dasar liang memek Tante Ros.
Akibatnya… lagi – lagi terjadi sesuatu yang teramat indah ini. Bahwa kami saling cengkram dengan kuatnya, saling remas dengan habatnya… bahwa ketika liang memek Tante Ros mengejut – ngejut, kontolku pun meronta – ronta sambil memuntahkan lendir pejuhku… croooottttttt… crooootttttt…
Lalu kami sama – sama terkapar dengan tubuh bermandikan keringat.
Tapi masih sempat kudengar suara Tante Ros membisiki telingaku, “Terima kasih Wan… kamu telah berhasil membangkitkan kembali semangat hidupku… dan aku jadi sayang sekali padamu…”
Sebagai jawaban, kupagut bibir Tante Ros. Lalu kami saling lumat selama beberapa detik.
“Punya kontol seperti gitu sih harus punya istri banyak. Pasti semuanya terpuasi,” kata Tante sambil menyeka memeknya dengan kertas tissue basah.
“Nggak Tante. Aku sih punya istri cukup satu orang saja. Tapi kalau kekasih rahasia kan bisa aja banyak – banyak.”
“Terus aku mau dijadikan kekasih rahasia yang keberapa?”
“Nomor satu Tante,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di pipi Tante Ros, “Karena Tante kan adik kandung Ibu.”
“Terima kasih ya Sayang. Dijadikan kekasih rahasiamu saja aku sudah senang rasanya.”
Setelah mandi bersama di kamar mandi hotel yang menyediakan bathtub segala itu, kami berpakaian kembali dan mengobrol di sofa yang agak jauh dari bed.
Di situlah Tante Ros menyerahkan selembar cek sambil berkata, “Ini untuk membayar pembelian rumahmu.”
“Nanti aja dibayarnya di depan notaris. Jual beli rumah kan harus ada akte jual belinya Tante.”
“Pegang dan cairkan aja dulu ceknya. Soalo akte dan sebagainya bisa diurus belakangan. Kita kan saudara dekat, bukan orang luar.”
Akhirnya kuterima cek itu setelah membaca nominal yang tertera di cek bank internasional itu. Dan kaget membacanya. “Tante… nominalnya kok lebih banyak dari harga rumah itu? Gak salah nih? kelebihannya sekitar duapuluh persen.”
“Kelebihannya sebagai tanda sayangnya aku padamu Wan. Udah… jangan sok menolak rejeki. Meski pun kamu sudah kaya raya, apa salahnya aku ngasih tanda sayang padamu?”
Esoknya, pagi – pagi sekali aku dan Tante Ros sudah berangkat menuju dealer mobil. Dealer yang menjual mobil SUVku itu.
Tidak sampai sejam Tante Ros sudah bisa membawa pulang sebuah sedan Jepang tapi cukup tinggi powernya. Sedan yang cukup gede silindernya, 3000 cc.
Tapi karena Tante Ros belum punya SIM Indonesia, dia tidak berani membawa mobil itu. Maka kutelepon Ramto, sopir perusahaan Tante Laila, untuk membawa mobil itu ke rumah baru Tante Ros. Sambil kuberi kunci rumah, teruitama untuk membuka pintu garasinya. Tentu saja kuberikan juga alamat lengkap rumah baru yang sudah dibayar oleh Tante Ros itu.
Tidak sampai sejam kami berada di dealer itu. Lalu kami lanjutkan menuju toko yang paling terkenal sangat lengkap menyediakan segala perabotan rumah, dari furniture, peralatan dapur dan apa pun yang biasa dipakai di rumah, ada di situ.
Toko besar yang menjual segala keperluan rumah tangga itu ada cabangnya di seluruh dunia. Bahkan di Nederland pun ada, kata Tante Ros.
Kebutuhan untuk sebuah rumah baru yang masih kosong memang banyak unak – aniknya. Sehingga Tante Ros membutuhkan waktu lebih dari tiga jam di toko itu. Karena dari mesin cuci, kulkas, microwave, kompor gas dan peralatan dapur lainnya, smeua dibeli dari situ. Sampai ke piring, cangkir, gelas, penggorengan, panci – panci dan sebagainya dibeli dari situ juga.
Lalu kami meninggalkan toko luas dan serba lengkap itu menuju hotel. Hanya untuk check out, karena Tante Ros ingin segera menempati rumah barunya.
Dari hotel bintang lima itu barulah kami menuju rumah baru Tante Ros. Sementara barang – barang yang dibeli dari toiko hardware itu akan segera dikirimkan ke rumah barfu Tante Ros.
Tapi kami sempatkan makan siang dulu di sebuah restoran, karena hotel hanya menyediakan breakfast tadi pagi, yang tidak mengenyangkan.
Setelah perut kami kenyang, barulah kami menuju rumah baru Tante Ros.
Ternyata sebuah truk berisi segala perabotan rumah yang baru dibeli tadi, sudah menunggu di depan rumah baru Tante Ros.
Setelah kami datang, pesuruh dari toko perabotan rumah itu dengan cekatan memasangkan semua barang yang kami beli. Jadi aku sudah bisa duduk di sofa putih yang masih 100% baru itu di ruang tamu. Sedangkan Tante Ros sibuk mengatur barang yang harus ditempatkan di posisinya masing – masing.
Aku tidak mau ikut campur mengatur letak barang – barang itu semua. Biarlah Tante Ros sendiri yang mengaturnya, karena semuanya harus nyaman untuk dirinya.
Setelah semuanya terpasang secara benar menurut Tante Ros, truk yang sudah kosong itu pun meninggalkan depan rumah baru ini.
“Aduuuh… capek sekali yaaa…” ucap Tante Ros sambil merebahkan diri di sofa yang berada di depanku.
“Perlu dipijitin nggak?”
“Hihihiiii… dipijitin sama kamu sih ujung – ujungnya pasti ke sini,” sahut Tante Ros sambil menepuk – nepuk ke bawah perutnya.
“Hahahahaaaaa… kirain mau lagi,” ucapku.
“Besok lagi aja. Hari ini aku ingin istirahat dulu. Sambil mikirin bisnis kita itu.”
Tiga hari kemudian, aku berangkat ke pabrik. Karena ada yang ingin kudiskusikan dengan sang Dirut, mengenai rencana pembelian saham oleh Tante Ros itu. Aku ingin mengorek pendapat direktur utama bernama Vita itu.
Ini kunjungan kedua kalinya ke pabrik yang sudah menjadi milikku ini. Tapi aku belum mengamati seluk beluk ruang kerjaku.
Dalam kunjungan kali ini aku mulai memperhatikan ruang kerjaku. Ruang kerja komisaris utama ini tampak serba antik furniturenya. Bahkan lukisan dan patung – patung yang dipajang di dinding dan di atas meja – meja kecilnya pun barang – barang seni rupa yang antik semua.
Pasti ini semua diatur oleh Tante Martini, sesuai dengan bentuk rumah besarnya yang di Jakarta itu pun berbentuk antik dan kokoh. Tidak terbawa arus minimalis.
Setibanya di ruang kerja, kupanggil Bu Vita agar menghadap padaku, lewat interphone yang ada di meja kerjaku. Meja yang terbuat dari kayu jati zaman kolonial dahulu.
Tadinya aku tak punya perhatian sedikit pun kepada Bu Vita yang menjabat dirut di pabrik ini. Bahkan sepintas lalu kupikir dia itu wanita setengah baya yang biasa – biasa saja. Tapi pada waktu dia menghadap ke ruang kerjaku sebagai komisaris utama perusahaan hibah dari Tante Martini ini, aku mulai serius memperhatikan bentuk dirutku itu.
“Barangkali lebih enak kupanggil Bu Vita dengan panggilan Mbak aja ya. Karena panggilan Ibu terkesan tua, sedangkan Mbak kan masih muda,” kataku membuka pembicaraan.
“Saya memang sudah tua Boss. Setahun lagi juga usia saya empatpuluh tahun,” sahutnya sambil menunduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku.
“Berarti usia Mbak sekarang baru tigapuluhsembilan kan?”
“Betul Boss.”
“Tigapuluh sembilan sih masih muda Mbak. Masih bisa hamil dan melahirkan.”
“Iii… iya Boss,” sahutnya sambil tersenyum. Hmmm… senyum itu… membangkitkan gairahku. Gairah nakal seorang lelaki muda yang ingin memanfaatkan masa mudanya dengan bertualang terus dari atas perut yang satu ke atas perut yang lain. Terutama dengan wanita setengah baya seperti dia itu…!
“Jadi gak apa kalau aku panggil Mbak kan? Biar hubungan kita lebih cair, jangan terlalu kaku.”
“Iya silakan mau panggil saya apa. Manggil nama langsung juga silakan.”
“Nggak. Aku merasa lebih nyaman dengan memanggil Mbak. Walau pun aku tau bahwa kita sama – sama bukan orang Jawa.”
“Hehehe… iya Boss.”
“Begini… sebenarnya ada dua hal penting yang mau kusampaikan kepada Mbak. Yang pertama, ada familiku yang akan bergabung dengan kita. Dia siap untuk melepas dananya yang jumlahnya hampir limapuluh persen dari nilai asset pabrik ini secara keseluruhan. Aku ingin minta pendapat Mbak, mana yang lebih baik…
Mbak Vita menatapku sekilas. Lalu tertunduk, sepertinya sedang berpikir. Lalu berkata, “Mungkin lebih positif dana itu dimasukkan saja sebagai penambahan modal, Boss.”
“Apa alasannya?” tanyaku.
“Kita masih kekurangan ruang produksi Boss. Kalau modalnya ditambahin, bisa bangun ruang produksi yang baru. Sehingga dengan sendirinya produksi kita semakin besar Boss. Tapi itu hanya usul saya aja. Boss tentu lebih tau mana yang terbaik untuk kemajuan perusahaan.”
“Seandainya usul itu kusetujui, mau bangun berapa ruang produksi baru nanti?” tanyaku.
“Di belakang kan ada tanah yang masih kosong seluas satu setengah hektar. Itu cukup untuk dibangun lima ruang produksi baru Boss. Sangat sesuai dengan kebutuhan pasar.”
Kemudian Mbak Vita menjelaskan beberapa jenis barang yang dibutuhkan oleh market, tapi belum bisa diproduksi di pabrik ini. Dengan ada tambahan 5 ruang produksi, kebutuhan market itu akan tersedia.
Setelah memikirkan semuanya itu sejenak, akhirnya aku menyetujui usul Mbak Vita itu. Maka aku pindah ke sofa yang sedang diduduki oleh Mbak Vita. Duduk di samping kanannya. Dan menjabat tangannya sebagai tanda sepakat. “Oke… kita laksanakan usul Mbak itu. Mudah – mudahan sesuai dengan harapan kita semua nantinya,” kataku.
Tapi tangan yang kujabat itu tidak cepat – cepat kulepaskan. “Ada satu point lagi yang belum kusampaikan Mbak.”
“Siap Boss, saya akan mendengarkannya dengan seksama.”
“Pointnya simple sekali kedengarannya. Bahwa aku ingin agar kita melakukan sesuatu, agar hubungan kita semakin akrab.”
“Melakukan apa Boss?” tanyanya seperti bingung, sementara tangan halus dan hangatnya belum juga kulepaskan.
“Aku ingin dekat dengan Mbak. Karena itu, bagaimana kalau kita refreshing nanti malam di villa yang tidak terlalu jauh dari kota ini?”
Mbak Vita membetulkan letak kacamata dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya masih kugenggam. “Saya punya suami Boss. Saya tidak bisa keluar malam – malam begitu saja. Harus ada alasan yang tepat.”
“Yah… aku hanya usul. Supaya hubungan kita semakin dekat dan kompak. Kalau Mbak keberatan, aku juga takkan maksa.”
“Mmm… Boss mau itu kan?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Itu apa?”
“Yang biasa dilakukan oleh suami – istri,” sahutnya.
“Jujur aja… iya. Tapi aku belum punya istri Mbak.”
Mbak Vita terdiam sesaat. Dan tetap membiarkan tangan kanannya berada dalam genggamanku. “Boss… saya akan permudah aja. Nggak usah jauh – jauh. Kalau Boss benar – benar mau sama saya yang sudah tua ini, lakukan di sini aja sekarang. Mumpung saya lagi gak banyak kerjaan.“
Aku terkejut girang mendengar ucapannya itu. Maka kulingkarkan lenganku di pinggangnya sambil membisikinya, “Aku ini penggila wanita setengah baya Mbak.”
Sambil tersenyum ia menyahut, “Saya tidak pernah menyeleweng dari suami Boss. Tapi kali ini saya akan pasrah kepada Boss.”
“Kenapa denganku bisa mau?”
“Pertama, karena Boss atasan saya. Kedua, karena Boss terlalu ganteng dan sangat muda belia… sehingga saya pun jadi penasaran juga… seperti apa rasanya jika saya berselingkuh dengan Boss…” sahutnya sambil membetulkan letak kacamatanya. Saat ini dia masuk ke dalam ruang kerjaku tidak mengenakan blazer merah lagi.
Hanya kemeja abu – abu pastel dan rok mini merah yang dikenakannya. Rok yang warna dan bahannya disamakan dengan blazernya. Last but not least, ia mengenakan stocking putih. “Tapi yang terutama, saya ingin agar hubungan saya dengan boss sebagai komisaris utama, ingin berjalan secara profesional tapi akrab…
Mbak Vita berbicara seperti itu pada saat tanganku sudah merayap ke balik rok mini merahnya. Untuk merayapi pahanya yang putih mulus dan licin sekali… sampai ke pangkalnya. Tapi setelah menyentuh celana dalamnya, aku berkata, “Mbak… semua ini membuatku kaget. Karena Mbak begitu cepat menanggapi hasratku.
“Action di ruang kerja Boss ini?” tanyanya sambil berdiri dan tersenyum.
“Iya. Beraksilah seperti seorang stripteaser yang sedang beraksi di atas panggung. Bebas aja… tak usah sungkan – sungkan.”
“Maaf pintunya akan saya kunci dulu Boss,” ucapnya sambil melangkah ke pintu keluar dari ruang kerjaku.
Ketika kembali lagi ke depan mataku, Mbak Vita menggantungkan sesuatu di telunjuknya. Menggantungkan… celana dalamnya! Ternyata barusan waktu menguncikan pintu, ia menyempatkan diri untuk melepaskan celana dalamnya.
Hal itu membuatku tercengang. Bukan cuma tercengang, si johni pun mulai bangun. Karena membayangkan sesuatu yang tadinya ditutupi celana dalam itu…!
Lalu tanpa ragu Mbak Vita meletakkan kakinya di atas meja tulis jati antik itu, sehingga aku bisa menyaksikan kemaluannya…! Tak cuma iktu. Ia pun duduk di pinggiran meja sambil mengangkat rok merahnya, sehingga bentuk memeknya semakin jelas di mataku. Sebentuk memek yang bersih dari jembut…!
Kuperhatikan aksi Mbak Vita sejenak. Lalu menghampirinya sambil bertanya, “Mau kita lakukan di atas meja ini?”
“Kan ada kamar yang biasa dipakai istirahat oleh Bu Martini dahulu Boss. Itu pintunya.”
“Ohooo… aku jadi tamu di rumahku sendiri,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Mbak Vita dan menuntunnya ke arah pintu yang barusan ditunjuknya.
Memang ada kamar yang lumayan besar dan lengkap segalanya seolah berada di rumah kecil, atau tepatnya seperti berada di apartemen. Ada dua bedroom berikjut kamar mandinya masing – masing, ada ruang tamu, ada meeting room dan ada kitchen segala. Mungkin dahulu Tante Martini kalau sedang berada di kota ini suka masak di kitchen relax roomnya.
Tapi semua itu tak penting bagiku. Yang penting bagiku saat ini adalah tubuh wanita setengah baya yang bernama Vita ini. Yang ternyata memancarkan pesona mengagumkan bagiku.
Namun ternyata Mbak Vita pun berkata bahwa sejak awal melihatku, dia langsung jatuh hati padaku. Tapi dia tahu diri, bahwa aku ini atasannya. Selain daripada itu, dia merasa bahwa aku terlalu muda baginya. Tapi kini semuanya sudah menjadi kenyataan. Bahwa aku suka padanya.
Maka ketika kami sudah berada di salah satu bedroom, dengan tekun dia melepaskan pakaianku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat. Seperti dia.
Kemudian kami melompat ke atas bed. Di atas bed inilah Mbak Vita memperlihatkan jati diri yang sebenarnya. Tanpa ragu dia menggenggam kontolku yang sudah tegang ini, lalu mengulum dan menyelomotinya. Membuatku terpejam dalam nikmat.
Begitu trampilnya Mbak Vina mengoralku. Sehingga aku jadi kuatir, takut ngecrot di dalam mulutnya sebelum aku sempat menikmati memeknya. Karena itu kutarik kontolku dari dalam mulut Mbak Vita, lalu menerkam dan menggumulinya.
Tadinya aku ingin menjilati memeknya juga. Tapi ketika aku sedang menghimpitnya sambil menciumi dan menjilati lehernya, terasa kontolku dipegang olehnya. Terasa moncong kontolku dicolek – colekkan ke belahan memeknya yang sudah licin dan hangat. Bahkan ia menarik kontolku dan menusukkannya ke mulut memeknya.
Aku pun tak sabar lagi. Sekalian kudorong saja batang kemaluanku sampai melesak masuk hampir separohnya ke dalam liang memek Mbak Vita…!
Setelah keadaan telanjur seperti ini, aku pun mulai mengentotnya perlahan – lahan dulu.
Mbak Vita pun tak segan – segan lagi mencium dan melumat bibirku sambil mendekap pinggangku erat – erat. Sehingga aku pun semakin menggencarkan entotanku sampai dalam kecepatan standard.
Mulailah terdengar desahan dan rintihan histeirsnya, “Bossss… ooooohhhhh… Bosssss… gak nyangka saya bakal mengalami semua ini Boss… oooooohhhhh… Bossssss… ooooooooohhhhhh… aaaaaaah… aaaaaah… punya Boss luar biasa gede dan panjangnya Boss… aaaaaah… Bosss… oooooohhhh…
Hebatnya, Mbak Vita mendesah dan merintih itu sambil menggoyangkan pinggulnya. Bergeol – geol menyerupai angka 8.
Sehingga liang memeknya membesot – besot dan memilin – milin tongkat aladinku.
Maka aku pun tak mau kalah. Kujilati lehernya diiringi gigitan – gigitan kecil, sementara tangan kiriku meremas – remas toket kanannya sambil sesekali memelintir pentilnya.
Makin riuh pula rintihan histerisnya yang terdengar erotis oleh telingaku. “Aaaaaah… Bosss… sungguh Boss… ini penis yang paling enak dalam hidup saya… aaaah… silakan entot memek saya sepuas Boss… saya sudah runtuh di telapak kaki Boss… oooooh… belum pernah saya merasakan ML senikmat ini Bosssssssss…
Terlebih lagi setelah aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, semakin menjadi – jadi juga rengekan erotis wanita setengah baya itu, “Aaaaaa… geeee… geliiii… tapi eeee… enak sekali Bossss… aaaaahhhh… aaaaa… hihihiiiii… iiiiiiihhhhhh… aaaaaa… aaaaaahhhhh… Bossssss …
Aku pun tak mau mengenyampingkan sisi romantisnya. Maka pada suatu saat, ketika aku semakin gencar mengentot liang memeknya yang legit dan terasa seperti menyedot kontolku berulang – ulang, aku memagut bibirnya ke dalam lumatanku. Mbak Vita pun menyambut kehadiran bibir dan lidahku dengan menyedot lidahku sampai masuk ke dalam mulutnya.
Maka kubalas juga, ketika lidahnya agak terjulur, kusedot ke dalam mulutku, untuk digeluti oleh lidahku.
Dalam keadaan seromantis ini dia tidak bisa merintih, karena mulutnya tersumpal oleh mulutku. Tapi terasa kedua tangannya meremas – remas bahu dan punggungku.
Dalam keadaan sedang saling lumat bibir dan saling sedot lidah inilah, tiba – tiba terasa Mbak Vita mengelojot – ngelojot sambil menahan nafasnya dan memejamkan matanya. Aku sudah tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Maka kugenjot kontolku untuk mengentot liang memeknya segencar mungkin.
Lalu ketika tubuhnya terasa mengejang tegang… tegang sekali, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa moncongnya menabrak dasar liang memek wanita setengah baya itu.
Pada saat itulah kurasakan liang memeknya mengedut – ngedut kencang. Inilah detik – detik yang paling kugilai di setiap kali menyetubuhi perempuan.
Tapi kali ini aku merasakan yang lain dari yang lain. Liang memek Mbak Vita empot – empotan terus, meski lendir libidonya sudah membanjir. Mungkin inilah yang disebut memek yang bisa “empot ayam” (seperti dubur ayam kalau ditiup suka empot – empotan).
Dan gilanya… ini nikmat sekali. Membuatku terpejam – pejam. Bahkan aku merasa ejakulasiku tak bisa ditahan – tahan lagi.
Lalu aku mengelojot, sementara moncong kontolku memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croottt… croooottttt… croootttt… crootttttt… crooooooootttt…!
“Ughhhh… memek Mbak bisa empot ayaaaam… !“ucapku yang sudah terkapar di atas perut Mbak Vita.
Mbak Vita cuma tersenyum. Lalu mencium bibirku sambil berkata, “Terima kasih Boss. Belum pernah saya rasakan ML senikmat ini…”
“Aku pun belum pernah merasakan memek yang bisa empot ayam seperti memek Mbak. Ini jelas akan membuatku ketagihan. Jadi… sesibuk apa p-un Mbak, kalau aku ingin menyetubuhi Mbak lagi, jangan sulit dipanggil ke ruang kerjaku ya.”
“Siap Boss. Saya juga pasti ketagihan. Kapan pun Boss membutuhkan saya, tinggal call aja nanti.”
Setelah bersih – bersih dan berpakaian lengkap kembali, aku berkata kepada Mbak Vita, “Mungkin besok juga investor itu akan kubawa ke sini Mbak. Sebenarnya dia tanteku sendiri. Adik kandung ibuku yang sudah memboyong dana sangat banyak dari Nederland ke sini.”
“Siap Boss.”
“Aku minta setiap ruangan yang akan disurvey harus rapi. Supaya investor tertarik untuk menanamkan investasi di pabrik kita ya Mbak.”
“Siap Boss. Hari ini juga akan saya perintahkan agar semua ruangan produksi dirapikan.”
“Dan… terima kasih atas semuanya Mbak. Aku takkan melupakan segala yang telah terjadi di antara kita berdua. Semoga Mbak semakin tekun melaksanakan tugas sebagai dirut pabrik ini.”
“Siap Boss. Saya juga menghaturkan terimakasih, atas kemurahan hati Boss mengucurkan keindahan ke dalam batin saya.”
KPikirannya pun berubah. Dia berani menanam saham hampir sama nominalnya jika dibandingkan dengan nilai asset pabrik ini secara keseluruhan. Sehingga kalau dihitung sedcara menyeluruh, nilai sahamnya hanya 1 % di bawah nilai asset pabrik secara keseluruhan. Jadi kalau dihitung secara keseluruhan, sahamku 51%, saham Tante Ros 49%.
Tampaknya Tante Ros bisa menanam investasi lebih banyak lagi. Tapi dia tidak mau melebihi sahamku. Mungkin agar aku tetap menjadi komisaris utama, sementara dia bisa dijadikan komisaris kehormatan saja. Karena dia ingin duduk manis saja di rumah barunya, tanpa melibatkan diri dalam kegiatan pabrik sehari – hari.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan berputar terus. Tiada yang bisa menghentikannya.
Tanpa terasa setahun telah berlalu. Suasana memang sudah banyak yang berubah.
Pabrikku, hibah dari Tante Martini itu berkembang dengan sangat pesatnya. Karena Mbak Vita memang bisa diandalkan. Dia bisa mencerna konsep – konsep baruku, kemudian dilaksanakannya dengan baik.
Sementara itu, Wati sudah menikah dengan seorang pengusaha yang lumayan mapan, meski usianya sudah 40 tahunan, 15 tahun lebih tua daripada Wati.
Aku ikut bahagia mendengar curhatan Wati. Bahwa lelaki itu mau menerima Wati apa adanya, termasuk tentang keperawanannya yang sudah tiada.
Dengan sendirinya Wati diboyong oleh suaminya, sehingga Ibu jadi sendirian di rumah. Tapi untungnya ada saudara sepupu Ibu yang hidup menjanda dan bersedia tinggal di rumahku. Untuk menemani dan meladeni kebutuhan Ibu sehari – hari. Tentu saja aku memberikan gaji tiap bulan pada Bi Elin, demikian aku memanggilnya karena ia kurang ngepas kalau dipanggil Tante (maklum dia orang kampung, meski statusnya adik sepupu Ibu).
Lalu apakah aku sendiri merasa birahiku sudah mantap dan fokus terhadap Anneke seorang?
Inilah masalahnya. Setiap kali dekat dengan perempuan setengah baya, selalu saja hasrat birahiku datang menggodaku.
Memang aku selalu berusaha untuk menindasnya dengan caraku sendiri.
Tapi pada suatu malam… ketika aku sedang berada di rumahku, tampak galon air mineral di dispenser kamarku sudah habis. Padahal aku haus sekali. Setahuku di dapur ada dispenser juga. Dalam keadaan cuma bercelana training tanpa baju, aku keluar untuk mengambil segelas air mineral untuk pelenyap dahagaku.
Sebelum tiba di dapur, aku melewati ruangan cucian yang sudah bersih dan meja setrikaan. Saat itulah aku melihat sesuatu yang luar biasa. Bahwa Bi Elin sedang menyetrika sambil berdiri menghadap mejatulis lamaku yang sudah dijadikan meja setrikaan, dengan mengenakan gaun rumah yang ke atasnya berwarna pink dengan polka dot putih, sementara ke bawahnya rok mini berwarna pink polos.
Gaun tank top itu menyatu bagian atas dengan rok mininya. Yang membuatku terbengong agak jauh di belakangnya, adalah betapa tipisnya pakaian yang ia kenakan itu, sehingga dari jauh pun kelihatan bentuk bokong indahnya dari balik rok mini transparant itu. Sehingga aku terlongong di belakangnya. Lalu aku mendekati adik sepupu Ibu yang berbadan putih mulus dan berusia 28 tahunan itu.
Bi Elin sedang menyetrika sambil mendengarkan musik lewat ponsel dan earphonenya.
Dan semakin jelas saja bokong indah Bi Elin yang terbayang dari luar rok mini pinknya itu. Tapi dia belum sadar juga bahwa aku sudah berada di belakangnya. Dan ingin meyakinkan, benarkah ia tidak bercelana dalam? Karena itu aku berjongkok sambil menengok ke dalam rok mini itu. Maaak… dia memang tidak mengenakan celana dalam.
Kalau memperturutkan kata hati, ingin langsung kupagut memek yang sedang berada di atas wajahku itu, karena aku jadi menelentang dengan wajah menghadap ke arah sepasang kaki dan yang berada di antara sepasang pangkal paha putih itu.
Tapi aku takut hal seperti itu akan membuatnya terlalu kaget. Karena itu aku berdiri lagi di belakang Bi Elin yang tetap asyik mendengarkan musik lewat handsfree ponselnya.
Setelah berdiri di belakangnya, langsung kusergap pinggangnya sambil menciumi tengkuknya. Hal itu pun membuatnya sangat terkejut. Dicabutnya earphone dari telinganya, lalu menoleh dengan mata terbelalak, “Aduuuh Wawan… kok bikin kaget aku aja sih?”
“Cuma mau nanya kenapa belum tidur Bi?”
“Ini nyelesaikan setrikaan udah numpuk dari kemaren.”
“Terus kenapa Bi Elin nggak pakai celana dalem?” tanyaku perlahan, dengan tangan langsung menyelinap ke balik rok mininya dan langsung memegang memeknya yang berjembut sedikit dan jarang sekali.
“Celana dalamku dicuci semua, gak ada yang bersih satu pun. Waaan… jangan megang – megang memek dong… Waaan…” ucapnya setengah berbisik. Mungkin takut kalau Ibu terbangun mendengar suaranya kalau terlalu keras.
“Bi… aku kan masih bujangan. Wajar kalau aku menganggap memek ini sebagai sesuatu yang sangat menggiurkan…” sahutku sambil menyelinapkan jariku ke celah memeknya.
“Tapi Wan… ooooh… kamu nakal Wan… kalau udah dipegang – pegang memek gini, aku jadi langsung kepengen… ooooh… Waaaaan… oooooh… “rintih Bi Elin dengan suara seperti berbisik terus.
“Ayo kita lakukan di kamarku ya Bi,” ajakku sambil menarik pergelangan tangannya.
“Iii… iyaaa… tapi aku mau pipis dulu ya,” ucapnya.
“Ayolah… di kamarku kan ada kamar mandinya. Di sana aja pipisnya,” ucapku sambil menarik pergelangan tangannya sambil melangkah ke kamarku.
Tak terdengar lagi suara Bi Elin, karena mau melewati pintu kamar Ibu. Kemudian kami membelik ke kanan, menuju pintu kamarku.
Setelah berada di dalam kamarku yang pintunya sudah ditutup dan dikuncikan, barulah Bi Elin berani berbicara, “Ini beneran mau ngemplud Wan?”
“Iya bibiku sayaang… aku udah gak tahan melihat Bibi yang manis dan menggiurkan ini,” sahutku sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya. Lalu mengecup bibirnya tanpa keraguan lagi.
Bi Elin memejamkan matanya. Kemudian berkata sambil melepaskan dekapanku, “Mau pipis dulu ya. Takut ngompol di tengah jalan nanti…”
Aku mengangguk. “Cuci memeknya yang bersih pakai sabun ya.”
Bi Elin mengangguk sambil tersenyum manis.
Setelah Bi Elin masuk ke kamar mandi, barulah aku sadar bahwa tadi aku keluar dari kamar karena haus dan mau mengambil air minum dari dispencer dapur. Dan sekarang masih haus. Tapi malas keluar lagi. Karena itu kuambil saja sebotol softdrink dari kulkas. Dan menikmati softdrink itu sambil menunggu Bi Elin di kamar mandi.
Tak lama kemudian Bi Elin muncul kembali dari ambang pintu kamar mandi. Sambil tersenyum – senyum padaku.
“Rasa ngimpi keponakan yang ganteng ini kok mau sama aku,” ucapnya sambil melepaskan gaun tipis transparan itu. Dan jadi langsung telanjang, karena di balik gaun tipis itu tiada apa – apa lagi selain tubuh langsingnya yang putih mulus. Memang keluarga dari pihak Ibu hampir semuanya berkulit putih mulus.
Melihat Bi Elin sudah telanjang, aku pun melepaskan celana trainingku, sebagai satu – satunya benda yang melekat di tubuhku.
Bi Elin terlongong setelah menyaksikan bentuk alat vitalku. “Wan… kontolmu gede banget… panjang pula…” ucapnya sambil memegang batang kemaluanku dengan tangan terasa agak gemetaran.
“Emangnya kontol mantan suami Bi Elin segede apa?” tanyaku.
“Gak inget lagi. Aku cuma satu kali digauli sama dia. Terus kami cerai. Karena kami tidak saling mencintai.”
“Kok bisa?”
“Kami kawin gara – gara digerebek warga. Karena di kampung gak biasa ada cowok bertamu malam – malam. Padahal cowok itu bukan pacarku.”
“Terus?”
“Perkawinan kami hanya berjalan seminggu. Lalu bercerai.”
“Dan Bibi cuma merasakan digauli satu kali aja?”
“Iya. Lalu aku jadi TKW di Hongkong.”
“Di Hongkong sih pasti punya pacar kan?”
“Boro – boro punya pacar. Tugasku cuma ngurusin seorang nenek – nenek. Diem di rumah terus, berdua sama si nenek itu. Makanya cuma setahun aku kerja di Hongkong. Lalu pulang. Pokoknya aku tidak pernah nemu cowok yang cocok. Jadi… sekarang ini bakal jadi pengalaman keduaku Wan.”
Baru sekali ini aku mendengar latar belakang kehidupan Bi Elin. Tadinya aku hanya tahu bahwa dia seorang janda, yang masih lumayan muda. Cuma itu saja yang aku tahu. Ternyata seperti itu latar belakang kehidupannya.
“Sama aku sih santai aja Bi,” ucapku sambil meraihnya ke atas bed.
Bi Elin pun tersenyum – senyum sambil celentang di atas bedku.
Lalu kuhimpit tubuh telanjang yang mulus dan terasa hangat ini. Dengan gairah yang luar biasa bergejolaknya. Maklum sudah lebih dari seminggu aku tidak bersetubuh. Karena tenggelam dalam kesibukan di pabrik.
Dengan sepenuh gairah aku pun mulai dengan mencium bibir Bi Elin yang tipis merekah itu. Kemudian menurun ke toketnya yang tidak besar tapi kecil pun tidak. Kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.
Tubuh Bi Elin pun mulai menghangat. Lalu aku melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memeknya yang berbulu jarang sekali. Itu pun hanya tumbuh di atas kemaluannya.
“Jembutnya jarang ya,” ucap Bi Elin.
“Gak apa. Zaman sekarang malah banyak yang mencukur memeknya sampai gundul,” sahutku.
“Aku sih belum pernah nyukur jembut. Seperti ini aja adanya sejak dahulu. Oooh… mau diapain Wan?” tanyanya ketika aku mulai menciumi memeknya.
“Santai aja Bi. Aku mau jilatin memek Bibi. Makanya tadi kuminta dicuci pakai sabun, biar jangan bau.”
“Hihihi… memekku gak bau Wan. Aku sih keputihan aja gak pernah. DIjamin bersih memekku sih. Kan seumur hidup baru dipakai satu kali.”
“Iya,” sahutku memperhatikan memek Bi Eli yang tertutup rapat. Lalu kungangakanj, sampai bagian dalamnya yang berwarna merah jambu itu tampak jelas. Memang tiada bau yang kurang sedap. Bahkan tercium harum sabun mandiku. Pasti tadi dia benar – benar mencuci memeknya dengan sabun.
Aku pun mulai menjilati memeknya, terutama bagian dalamnya yang berwarna pink dan mengkilap itu. Langsung terdengar suara Bi Elin, “Waaan… ooooohhhh… ini pertama kalinya memekku dijilatin Waaan… ooooohhhh… ternyata geli – geli enak gini yaaa… oooooohhhh… Waaaaan…”
Mendengar rintihan Bi Elin itu, aku semakin bersemangat menjilati memeknya. Bahkan kemudian kufokuskan untuk menjilati kelentitnya yang muncul sebesar kacang kedelai, mengkilap dan tegang.
Jilatan dan isapanku di kelentitnya, membuat Bi Elin mulai gedebak – gedebuk dan terkejang – kejang. Rintihan – rintihannya pun semakin menjadi – jadi, tapi terasa ditahan agar suaranya jangan sampai terdengar oleh Ibu.
“Waaaaan… ooooohhhh… Waaaaan… jilatin itilku teruuussss… ini lebih enak lagi Waaaan… sampai merinding – rinding nih aku Waaaaan… jilatin terus itilku… iyaaaa… itilku Waaaan… itiiiillll…”
Dan ketika terasa bahwa bagian dalam memek Bi Elin sudah cukup basah, aku pun membenamkan kotolku ke dalam liang memeknya, sambil menghempaskan dadaku ke sepasang toketnya yang masih lumayan kencang.
Irama birahi pun mulai berkumandang di telinga batinku.
Kontolku sudah mulai “mondar – mandir” di dalam jepitan liang memek Bi Elin yang ternyata luar biasa sempitnya. Sehingga liang sanggamanya itu terasa sekali bergerinjal – gerinjal seperti telur ayam yang masih berada di dalkam perut induknya. Ini sangat terasa nikmatnya.
Aku pun percaya bahwa dia baru kedua kalinya ini disetubuhi oleh lelaki. Karena dengan suaminya hanya satu kali digauli, kemudian bercerai seminggu kemudian. Berarti dia hanya memberikan keperawanannya saja kepada lelaki itu, kemudian bercerai.
Bi Elin makin lama makin mendesah dan merintih, tapi tetap suaranya tertahan – tahan. Pasti dia takut kalau suaranya terdengar oleh Ibu. “Ooooo… ooooo… oooooh… Waaaaan… ternyata dientot sama kontol ini enak sekali rasanya Waaaaan… ini luar biasa nikmatnya Waaaan… oooooh… ooooooohhhhhh…
“Memek Bi Elin juga luar biasa enaknya. Seperti memek gadis belasan tahun, sempit sekali rasanya. Asalkan Bi Elin kerasan di sini, nanti dua atau tiga hari sekali kuentot deh…” sahutku sambil melambatkan entotanku.
“Aku… aku pas.. pasti kerasan di sini Waaan… kontol Wawan yang bikin aku kerasan di sini… oooohhh… enak Wan… enaaaaak… entot terus Waaan… ini luar biasa enaknya… ooooohhhhh… Waaaan…”
Bi Elin seperti sudah lupa segalanya. Apalagi setelah mulutku nyungsep di lehernya, untuk m, enjilati leherjenjangnya disertai dengan gigitan – gigitan kecil… semakin lupa daratan jugalah adik sepupu Ibu itu dibuatnya.
Bahkan seperti yang pernah kuperlakukan kepada wanita setengah baya lain, pada suatu saat kujilati dan kugigit – gigit ketiaknya yang bersih dari bulu ketek… aroma keringatnya tercium olehku… tapi aku malah semakin bernafsu untuk menjilati ketiaknya itu… sementara kontolku semakin gencar mengentot liang memek sempitnya.
Aku pun melengkapinya. Ketika entotanku makin gencar sementara mulutku sedang nyungsep di ketiaknya, tangan kiriku masih bisa beraksi untuk meremas – remas toket kanan bibiku.
Akibatnya… Bi Elin mulai berkelojotan. Aku pun tak mau terlalu lama menyetubuhinya. Maka kupercepat entotanku, seperti pelari yang sedang sprint di depan garis finish.
Lalu ia menggeliat dan mengejang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Sesuatu yang terindah pun terjadi. Bahwa kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dan saling remas dengan kuatnya, seolah ingin saling meremukkan tulang. Kami sama – sama menahan nafas. Dan liang memek Bi Elin berkedut – kedut kencang, sementara kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir pejuhku.
Crooootttt… croooottttttt… crotttt… crotttt… croooottttt… croooot… crooootttt…!
Lalu kami terkapar dengan tubuh sama – sama bermandikan keringat. Sesaat kemudian aku menggulingkan badanku ke samping, sehingga jadi celentang di sisi kanan Bi Elin.
“Terimakasih Wan… aku baru nyadar, ternyata disetubuhi itu nikmat sekali ya. Dahulu sih cuman sakit aja yang ada. Makanya aku jadi trauma, takut sakit seperti dahulu lagi. Ohya… nanti kalau aku hamil gimana Wan?” tanyanya.
“Jangan takut,” sahutku sambil turun dari bed. Melangkah ke arah lemari obat. Dan mengeluarkan dua strip pil kontrasepsi. Lalu menyerahkannya kepada Bi Elin. “Ini obat antki hamil. Baca aja aturan pakainya.”
“Iya, terima kasih Wan.”
Maka sejak malam itu Bi Elin jadi sosok untuk dijadikan tempat penyaluran nafsu birahiku. Aku pun jadi sering memberinya uang, agar ia tidak kekurangan untuk menutupi segala kebutuhan pribadinya.
Petualanganku dengan Bi Elin hanya salah satu sudut dari sekian banyak petualangan seksualku.
Aku memang sudah bertekad, istri resmiku cukup seorang saja. Tapi aku ingin punya koleksi sebanyak mungkin.
Karena itu hubunganku dengan perempuan – perempuan yang telah menjadi koleksiku itu tetap terjalin dengan baik.
Tantre Laila, misalnya, tetap kusayangi dan kuhormati. Dia bukan sekadar pelabuhan kapal birahiku. Tapi juga sebagai wanita yang telah menaikkan derajatku. Dia seolah menjadi penyebabku From Zero to Hero. Lebih dari itu semua, dia sudah mengandung dan melahirkan anakku.
Tante Laila pun menepati janjinya. Tiga bulan setelah melahirkan, dia minta agar aku mengantarkannya ke rumah, untuk menjumpai ibuku.
Lalu detik -detik mengharukan itu pun terjadi. Bahwa Tante Laila minta maaf kepada Ibu, karena selama ini seolah menelantarkan Ibu. Lalu dia menceritakan alasan kenapa dia tidak berani menginjak rumahku sekian lamanya itu, karena di telinganya terngiang – ngiang terus ucapan Ayah almarhum, yang melarangnya menginjak lagi rumah Ayah.
Dijelaskan pula oleh Tante Laila, bahwa saat itu ayahku marah, karena meminjam duit pada Tante Laila tidak dikasih. Dijelaskan pula, bahwa saat itu Tante Laila tahu bahwa Ayah akan mengawini seorang gadis muda bernama Atikah. Padahal saat itu Ayah sudah punya istri tiga orang, kata Tante Laila.
Aku sudah mendengar masalah itu dari mulut Tante Laila. Bahwa istri almarhum Ayah ada 4 orang. Itu tidak termasuk Bu Mimin yang belakangan terbiasa kupanggil Ema saja. Yang disebut keempat istri Ayah selain Ibu, adalah wanita – wanita bernama Maryati, Siti Nafsiah dan Atikah.
Tante Laila pernah menganjurkanku untuk menemui istri – istri Ayah itu, karena dari mereka lahir saudara – saudara seayah denganku.
Tapi aku belum memikirkan hal itu. Kalau pun ingin mencari saudara, tentunya saudara seayah dan seibu saja yang harus kucari, yaitu Nova itu.
Sebelum pulang, Tante Laila memberi uang yang banyak sekali buat Ibu. Kemudian Tante Laila menciumi pipi Ibu dan pamitan pulang. Kulihat Ibu pun menangis. Mungkin karena merasa terharu dengan kunjungan Tante Laila yang tidak disangkanya sama sekali.
Sang Waktu pun berputar terus.
Lalu terjadi sesuatu yang sangat menggembirakanku. Bahwa Tante Martini sudah bisa berjalan seperti orang normal. Berkat ketekunannya menjalani therapi sekian lamanya, akhirnya ia bisa berjalan lagi tanpa harus ditopang oleh alat apa pun.
Tante Martini mengaku bahwa semuanya itu berkat semangat hidupnya yang menyala – nyala lagi setelah sering kugauli. Hal yang sama pernah kudengar dari mulut Tante Ros.
Jadi sebegitu pentingkah sosok lelaki bagi seorang wanita yang sudah menjanda?
Entahlah.
Yang jelas pada suatu hari, Tante Martini menghubungiku lewat ponsel. Beliau memintaku agar datang ke Jakarta, karena ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan, katanya.
Aku memang selalu patuh kepada calon mertuaku yang punya hubungan rahasia denganku itu. Terlebih kalau mengingat kebaikannya yang takkan mungkin kulupakan sampai kapan pun.
Setibanya di rumah Tante Martini, di Jakarta, aku langsung menjumpainya di ruang keluarga. Seperti biasa, kedatanganku senantiasa disambut dengan senyum manis dan ciuman hangat di bibirku.
Seperti biasa, setiap kali aku datang, Tante Martini mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Di situlah ia menelanjangi dirinya dan seperti biasa dia memintaku untuk menyetubuhinya.
Tante Martini yang selalu menganggap kontolku sebagai therapi paling manjur bagi batinnya.
Setelah bersetubuh, Tante Martini mengenakan kembali gaun rumahnya yang putih bersih. Lalu mengajakku duduk di sofa yang dekat dengan kolam ikan koi itu.
“Sebenarnya tante mau menyampaikan berita duka sekaligus bisa dijadikan berita gembira bagimu,” kata Tante Martini sebagai awal penuturan yang da anggap sangat penting bagiku.
“Pertama… kabar tentang bangkrutnya usaha Pak Hasyim yang mengadopsi adikmu itu. Semua harta bendanya disita oleh bank tanpa ampun. Termasuk rumah dan semua kendaraan bermotornya, “lanjut Tante Martini.
“Lalu bagaimana dengan nasib Nova Tante?” tanyaku tak sabaran, ingin tahu nasib adikku yang belum pernah kulihat bentuknya itu.
“Sebentar… tante mau lanjutkan dulu beritanya. Pak Hasyim dalam stressnya mendapat serangan jantung dan meninggal dunia sebulan yang lalu. Istrinya sampai nangis – nangis dan minta pertolongan sama tante. Terutama mengenai Nova itu. Lalu tante ceritakan mengenai dirimu yang sudah sukses dan menjadi pengusaha besar.
“Jadi… adikku sudah tau kalau dia bukan anak kandung Pak Hasyim?” tanyaku.
“Sudah. Dia ada di sini sekarang.”
“Haaa? Mana dia sekarang Tante?”
“Sebentar dulu… kejadian yang menimpa Pak Hasyim itu harus dijadikan peringatan bagi kita. Jangan sampai kita mengalami hal seperti itu… ilmunya sih sederhana… dalam mengelola perusahaan, jangan lebih besar pasak daripada tiang. Itu aja.”
“Sampai saat ini semua perusahaan yang kuurus selalu sehat Tante. Aku hanya berurusan dengan bank, hanya untuk menyimpan dana. Bukan untuk berhutang. Karena kata para ahli, bank itu laksana meminjamkan payung di musim kemarau, tapi payung itu akan diambil di musim hujan.”
“Syukurlah kalau Wawan sudah punya prinsip seperti itu. Sepintas lalu bank itu menyenangkan. Padahal kalau kita lepas kontrol, bisa menjadi sumber bencana,” ucap Tante Martini, “Terus hubunganmu dengan Anneke bagaimana? Tetap berjalan mulus kan?”
Tante Martini memang sudah mengetahui bahwa aku punya hubungan cinta dengan Anneke. Kebetulan Tante Martini mendukung, tetapi memintaku dengan sangat, agar hubungan rahasiaku dengannya tetap berjalan sampai kapan pun. Dan aku sudah menyetujuinya, karena (sekali lagi) aku ini penggila wanita setengah baya.
Kemudian Tante Martini mengajakku ke pavilyun. Sebelum keluar dari kamarnya, Tante Martini sempat membisiki telingaku, “Awas… di depan Nova dan ibu adopsinya jangan memperlihatkan sikap yang aneh – aneh. Bersikaplah sebagaimana lazimnya seorang calon menantu kepada calon mertuanya ya.”
“Siap Tante. Jangan takut soal itu sih. Jangankan pada mereka, sedangkan kepada Anneke saja sampai detik ini masih kurahasiakan.”
Kemudian kami keluar dari kamar Tante Martini, menuju pavilyun yang letaknya bersebelahan dengan garasi.
Tante Martini pun berseru dari ambang pintu pavilyun yang sudah dibukanya, “Mbak Haya! Ini abangnya Nova sudah datang… !”
Lalu dari dalam pavilyun muncul wanita setengah baya yang kira – kira seumuran dengan Tante Martini. Dengan ramah ia menyapaku, “Ooooh… ini anaknya Pak Jaelani almarum?”
“Betul Tante,” sahutku sambil menjabat tangannya dengan sopan dan menyebutkan namaku.
Dia juga menyebutkan namanya, “Haya…”
Lalu Tante Haya berseru ke dalam, “Nova Sayang… ini abangmu sudah datang… !”
Lalu muncullah seorang cewek berperawakan tinggi sekali (buat ukuran cewek), berkulit putih bersih sampai mirip cewek bule. Namun wajahnya ada kemiripan dengan wajah Wati. Pasti itulah Nova, adik kandungku. Adik seayah dan seibuku.
“Nova?” tanyaku waktu dia sudah berdiri di depanku.
“Iya, “dia mengangguk dengan pandangan datar, “Ini Bang Wawan?”
“Betgul, kataku sambil membiarkan dia mencium tanganku. Lalu kupeluk pinggangnya sambil mencium sepasang pipinya, “Selamat berjumpa lagi, adikku Sayang…”
Nova menatapku sambil tersenyum dan berkata, “Terima kasih Bang. Senang bisa berjumpa dengan abang kandungku.”
Lalu kami duduk di sofa. Tante Martinio dan Tante Haya pun duduk berdamping di sofa lain.
Kami pun ngobrol ke barat ke timur, namun intinya sudah kutangkap. Bahwa Tante Haya mempersilakanku untuk membawa Nova dan berkumpul dengan keluarga kandungnya kembali. Karena keadaan Tante Haya sedang serba sulit, sehingga merasa kasihan kepada Nova kalau harus hidup tanpa kepastian ke depannya.
Lalu Tante Haya bertanya, “Setelah Nova berkumpul dengan keluarga kandungnya nanti, masih biolehkah tante menengok dia ke rumah Wawan?”
“Tentu saja boleh Tante,” sahutku, “Biar bagaimana Tante kan yang merawat Nova sejak bayi merah. Nova sendiri mungkin bakal sering merasa kangen kepada Tante nanti.”
Tante Haya mengangguk – angguk sambil tersenyum, namun matanya tampak berkaca – kaca.
Kemudian aku dan Tante Haya tukaran nomor ponsel.
Setelah Nova tampak siap dengan menjuinjing tas pakaiannya, aku pun berdiri dan pamitan kepada Tante Haya dan Tante Martini.
Pada saat Nova pamitan kepada Tante Haya, tampak ibu adopsi Nova itu bercucuran air mata. Sambil berkata sendu pula, “Pandai – pandai kamu menitipkan diri nanti ya Sayang. Jangan terlalu manja seperti sedang bersama mama.”
“Iya Mama,” sahut Nova, “Mama jaga kesehatan baik – baik ya. Nanti aku pun akan sering minta diantarkan sama Bang Wawan, untuk bertemu sama Mama.”
Beberapa saat kemudian Nova sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sedang kuluncurkan di atas jalan aspal.
“Sudah dengar dari mamamu kalau ibu kita itu seorang wanita tunanetra?” tanyaku pada suatu saat.
“Sudah Bang.”
“Di rumah ada adik sepupu Ibu yang ditugaskan untuk melayani Ibu. Nanti setelah ada kamu, bantu juga melayani Ibu ya.”
“Iya Bang. Aku sudah menyadari hal itu sih. Kan beliau yang mengandung dan melahirkanku ke dunia ini.”
“Syukurlah kalau kamu sudah insyaf sih.”
“Maksud Abang insyaf dari apa?”
“Dahulu aku pernah mendengar kamu sangat kolokan pada saat Pak Hasyim masih ada dan perusahaannya belum bangkrut. Bahkan ada yang bilang juga kalau kamu sangat jutek kepada siapa pun. Tapi aku tidak melihat kemanjaan dan kejutekanmu itu sekarang.”
Nova menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Sambil berkata, “Aku juga tau diri Bang. Dahulu waktu almarhum Papa sedang jaya – jayanya, aku bisa berbuat seenaknya. Tapi sekarang… tidak jadi gelandangan pun sudah untung. Tentu saja aku tak berani bersikap dan berperilaku seperti anak orang tajir lagi.
Aku terharu juga mendengar ucapan adikku itu. Lalu kubelai rambutnya dengan tangan kiriku, sambil berkata lembut, “Yang penting kamu sendiri harus berusaha untuk mengambil hati orang – orang di sekitarmu nanti. Supaya mereka semua menyayangimu.”
“Iya Bang.”
“Kamu punya pacar di Jakarta?”
“Nggak Bang. Kapok pacaran waktu masih di SMA dahulu.”
“Kenapa kapok?”
“Ngejengkelin. Mau ngatur mulu. Ke sana gak boleh ke sini gak boleh. Putusin aja sekalian.”
“Pacarannya sejauh apa?”
“Maksud Abang?”
“Batasnya sampai di mana? Apakah cuma sampai ciuman atau lebih dari itu?”
“Nggak sejauh itu Bang. Dia hanya kuijinkan cium pipi doang.”
“Sejak saat itu gak pernah pacaran lagi?”
“Nggak pernah Bang.”
“Kalau pacaran cuma sampai cium pipi, berarti kamu masih perawan dong.”
“Aku udah gak perawan Bang. Tapi yang memecahkan selaput daraku bukan manusia.“
“Bukan manusia?! Terus apaan yang ngambil keperawananmu? Hantu atau anjing atau kuda…”
“Bukan… bukan Bang. Dildo yang ngambil keperawananku Bang.”
“Dildo?! Terus kamu diem – diem suka makai dildo terus?” tanyaku dengan perasaan kasihan juga pada adik kandungku itu. Karena dia begitu polos menjawab setiap pertanyaanku.
“Iya Bang. Daripada ngajak cowok yang nyebelin, mendingan pakai dildo kan Bang.”
“Sekarang dibawa dildonya?”
“Dibawa…” sahut Nova nyaris tak terdengar.
“Coba lihat…” kataku.
Nova melepaskan seatbeltnya, lalu melangkah kie seat belakang, di mana tas pakaiannya diletakkan. Lalu ia pindah ke depan lagi sambil menyerahkan dildo itu beserta kotak kartonnya.
Tampaknya Nova sudah pasrah pada apa pun yang kuperintahkan.
Ketika kukeluarkan dildo itu dari kotaknya, ternyata dildo itu hanya berbentuk lonjong seperti kapal selam. Tidak dibentuk seperti kontol. Lagian ukurannya kecil. Jauh lebih kecil daripada batang kemaluanku.
Kuberikan lagi dildo dan kotaknya itu pada Nova. Karena aku sedang nyetir.
“Nova Sayang… sebenarnya tidak baik maen dildo seperti itu. Bisa merusak jiwamu nanti,” ucapku.
“Iya Bang,” sahutnya lirih.
“Pada saatnya menggunakan dildo, pasti kamu mengkhayalkan seorang cowok. Lalu kamu melayang – layang dalam arus halusinasi. Aku takkan memaksamu, tapi kalau kamu sayang pada mentalmu sendiri, buanglah dildo itu sekarang juga.”
“Iya Bang,” sahut Nova sambil menurunkan kaca pintu di sebelahnya, kemudian dibuangnya kotak berisi dildo itu ke jalan.
“Aku sayang sama kamu Nov,” ucapku sambil membelai rambutnya, karena kepalanya tersandar ke bahu kiriku lagi.
“Iya Bang. Aku juga sayang sama Abang.”
Sedan hitam yang kukemudikan meluncur terus di jalan tol menuju kota tercintaku.
Malam pun semakin larut.
Ketika kami tiba di rumah, jam tanganku sudah menjukkan pukul satu pagi.
Aku selalu membekal kunci – kunci cadangan, sehingga dengan mudah bisa membuka pintu garasi. Setelah menyimpan mobil di garasi, kututup dan kukuncikan kembali pintunya. Kemudian mengajak Nova masuk ke dalam rumah.
Ibu sudah tidur nyenyak. Bi Elin juga sama. Sehingga Nova kuajak tidur di kamarku saja.
“Kalau mau bersih – bersih dulu, itu pintu kamar mandinya,” kataku ketika Nova sudah meletakkan tas pakaiannya di atas meja kecil dekat televisi.
“Iya Bang,” sahut Nova sambil mengeluarkan kimono putih dari tas pakaiannya. Kemudian masuk ke kamar mandi.
Seharusnya aku langsung membawa Nova ke kamar Ibu, untuk memberitahu bahwa aku sudah berhasil membawa adikku kembali ke rumah peninggalan Ayah almarhum ini. Tapi aku selalu tidak tega mengganggu Ibu kalau sudah tertidur nyenyak begitu. Tadi sampai terdengar suara ngoroknya ke luar, membuatku yakin bahwa Ibu sedang enak – enaknya tidur.
Setelah mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama, aku merebahkan diri di atas bed. Nova pun naik ke atas bedku dan merebahkan diri di sampingku.
“Sebenarnya ada kamar kosong yang tadinya dipakai oleh Kak Wati. Tapi setelah dia menikah, kamar itu kosong. Apakah kamu mau tidur di kamar yang kosong itu?” tanyaku.
“Nggak mau. Aku mau tidur sama Abang aja ya… please…” sahutnya dengan suara memohon.
“Kenapa? Kamu takut tidur sendirian?”
“Nggak. Tapi aku teriungat Papa almarhum. Semasa beliau masih ada, aku sering tidur di kamar Papa Mama. Dan aku selalu merasa nyaman kalau tidur dalam pelukan Papa,” ucap Nova sambil meletakkan lengannya di dadaku, “Setelah berjumpa dengan Abang, aku punya perasaan Abang ini laksana pengganti Papa yang sudah tiada.
Kutatap wajah adikku yang cantik dan bermata sayu itu. Perasaan iba pun timbul. Lalu kupeluk pinggangnya sambil berkata, “Ya udah… sekarang tidurlah Sayang.”
“Bang…”
“Hmm?”
“Apakah Abang benar – benar sayang padaku?”
“Tentu aja,” sahutku sambil membelai rambutnya, “Kalau gak sayang, ngapain kamu dibawa ke sini? Kita ini saudara kandung. Sedarah sedaging.”
“Iya Bang. Aku juga sayang sama Abang. Sayang sekali,” ucapnya sambil menumpangkan pahanya di atas pahaku, sehingga belahan kimononya terbuka lebar. Dan… aku melihat kemaluannya yang tak bercelana dalam. Membuatku tergetar dalam perasaan aneh. Bukan lagi sebagai perasaan kakak pada adiknya.
Batinku bergulat dahsyat. Antara nafsu dan kesadaran bahwa Nova ini adik kandungku yang harus kulindungi kehormatannya.
Sampai akhirnya kuusap – usap memek adikku yang cantik ini. Dan… Nova diam saja. Bahkan semakin mempererat dekapannya.
“Kenapa kamu gak pakai celana dalam?” tanyaku perlahan.
“Aku udah terbiasa kalau mau tidur gak pakai beha dan celana dalam. Supaya pernafasanku lebih lapang.”
“Dan gampang kjalau mau mainin dildo juga kan?”
“Iya Bang. Hehehee…”
“Kamu belum pernah merasakan kontol yang sebenarnya?”
“Belum pernah Bang.”
“Sekarang mau ngerasain?”
“Kontol siapa? Gak mau ah kalau dikasih kontol sembarang cowok sih. Kalau… kalau kontol Abang aku mau…” sahutnya dengan nada lugu.
Mendengar jawaban itu, aku tidak cuma mengusap – usap memeknya lagi. Melainkan mulai menyelinapkan jari tengahku ke dalam liang memeknya yang sempit tapi sudah agak basah dan licin. Lalu kugerak – gerakkan jari tengahku ke dalam dan ke luar ke dalam lagi ke luar lagi…
Tapi aku tidak berani memasukkan jariku terlalu jauh. Hanya berani seruas jari saja.
“Baaaang… duuuuh Baaaang… ini… enak sekali Bang…”
“Beneran kamu mau nyobain kontolku?” tanyaku dengan jari yang masih tetap kuentotkan di liang memek Nova, tapi tetap hanya sebatas 1 ruas saja…
“Mau… tapi bagaimana kalau aku hamil nanti?”
“Soal itu sih gampang,” kataku sambil turun dari bed dan mengeluarkan tiga strip pil kontrasepsi. Lalu kuberikan ketiga strip pil kontrasepsi itu pada Nova sambil berkata, “Ini pil anti hamil. Baca aja petunjuknya nanti.”
Nova menyambut ketiga strip pil kontrasepsi itu. Lalu membaca petunjuk yang tertera di bagian belakang stripnya. “Ini pil kabe ya Bang.”
“Iya,” sahutku sambil naik lagi ke atas bed.
“Ayo kalau gitu sih. Abang mau kan melakukannya sekarang?”
Aku mengangguk sambil melepaskan baju piyamaku. “Tapi harus merahasiakannya ya. Ini rahasia untuk kita berdua aja ya.”
“Iya Bang. Aku janji,” ucap Nova sambil mengangkat dua jari tangan ke dekat telinganya.
Setelah melepaskan celana piyamaku, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, kulepaskan ikatan tali kimono Nova, kemudian Nova sendiri yang melepaskan kimononya. Sehingga tubuh Nova terbuka sepenuhnya alias telanjang bulat. Karena sejak tadi ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam.
Aku terpukau menyaksikan betapa putih mulusnya tubuh adik kandungku itu. Tiada cela setitik pun di mataku.
Lalu kena;pa dia harus merusak keperawanannya sendiri dengan dildo yang sudah dibuang itu?
Entahlah, aku belum menanyakan masalah itu.
Lagian usia Nova sudah 20 tahun. Sudah dewasa. Wajar saja kalau dia sering dilanda kepenasaranan, ingin tahu seperti apa rasanya hubungan sex yang sering dijuluki Surga Dunia itu. Lalu dia mendapatkan kenikmatan dari alat bantu itu. Padahal kalau dia sudah merasakan alat kejantanan yang asli, mungkin dia akan merasakan sesuatu yang lain.
Nova pasrah saja ketika kuberitahu bahwa hubungan sex itu harus didahului dengan foreplay dulu. Supaya dia benar – benar siap untuk dipenetrasi.
Kemudian aku menelungkupi tubuhnya sambil mencium dan melumat bibirnya.
Jujur, perasaanku sat ini bukan seperti sedang mencumbu adik kandungku. Maklum aku melihatnya setelah dewasa begitu, sehingga aku merasa seperti berhubungan dengan orang luar yang bukan saudara kandungku.
Ternyata Nova juga merasakan hal yang sama. Belakangan dia mengaku bahwa setiap berdekatan denganku, seperti berdekatan dengan kekasihnya. Bukan seperti berdekatan dengan abang kandungnya. Jadi pada intinya, batin kami sama – sama dialiri arus birahi.
Terutama ketikia aku mulai mencium bibirnya sanmemainkan pentil toketnya yang mulai menegang. Lalu suhu badan Nova pun mulai menghangat.
Bahkan Nova menatapku sambil bertanya perlahan, “Bang… kalau nanti aku jatuh cinta sama Abang gimana?”
“Gak apa – apa Sayang. Aku juga bisa aja jatuh cinta padamu. Tapi kita harus pandai merahasiakannya. Jangan sampai ada orang tau. Karena kita ini kakak beradik kandung.”
“Tapi… sebenarnya sejak melihat Abang di Jakarta tadi… rasanya aku sudah jhatuh hati sama Abang.”
“Aku pun sama. Begitu melihatmu tadi, aku langsung merasa sayang padamu. Karena kamu ini sangat cantik Sayang,” ucapku yang kulanjutkan dengan kecupan mesra di bibir tipis sensualnya.
“Ooooh Bang… kalau begitu kita jadi sepasang kekasih gelap aja ya. Aku yakin akan bahagia kalau menjadi kekasih Abang.”
“Iya… nanti kita pikirkan matang – matang, jalan mana yang harus kita tempuh. Yang jelas aku sangat sayang padamu Nov.”
“Aku juga sayang sama Abang.”
“Baguslah kalau begitu. Sekarang aku akan menjilati memekmu ya. Biar pada waktunya kontolku dimasukkan, jangan membuatmu sakit.”
“Iya Bang… aku pasrah aja sama Abang. Karena aku yakin Abang pasti tau apa yang terbaik untukku.”
Lalu kungangakan memek Nova yang bersih dari jembut itu, sampai terlihat bagian dalamnya yang berwarna pink dan mengkilap karena agak basah.
Ketika aku mencermati bagian dalam memek adikku itu, ada keheranan di benakku. Karena smeuanya masih terkatup rapat. Terutama mulut liang sanggamanya. Tapi keheranan itu segera kulupakan. Lalu aku mulai menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu.
Nova pun mulai menggelinjang sambil meremas – remas kain seprai.
Terlebih setelah aku fokus menjilati clitorisnya yang muncul dan mengkilap itu. Nova pun menggeliat – geliat terus sambil menahan – nahan nafasnya.
Terkadang kusedot clitorisnya yang terasa sudah mengeras ini (pertanda horny). Tentu saja semua ini kulakukan sambil mengalirkan air liurku ke dalam memeknya. Agar “pelumasnya” cukup banyak.
Setelah cukup lama menjilati memek dan clitorisnya, aku pun merasa sudah tiba waktunya untuk melakukan penetrasi.
Maka kurenggangkan jarak sepasang paha putih mulus Nova, sambil siap – siap meletakkan moncong kontolku tepat di ambang “pintu surgawi”nya.
Dengan sekuat tenaga kudorong kontolku yang sudah ngaceng berat ini.
Ciaaaaah… meleset ke bawah…!
Kubetulkan lagi letak moncong kontolku dan kudorong lagi dengan tenaga full.
Gila… meleset lagi. Kali ini melesetnya ke atas. Malah kontolku jadi melengkung karena tidak tepat sasaran.
Selanjutnya aku mencolek – colekkan dulu moncong kontolku di seputar mulut liang sanggama Nova. Bahkan setelah merasa tak salah lagi, kudesakkan kontolku sampai masuk kepalanya sedikit.
Aku mengumpulkan tenaga dan konsentrasiku, sambil memegang batang kemaluanku yang moncongnya sudah diselipkan ke mulut liang sanggama Nova. Lalu kudorong sekuat tenaga… melesak sedikit… dorong lagi lebih kuat… masuk lagi sampai lehernya.
Sementara Nova hanya memejamkan matanya dengan sikap pasrah.
Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada Nova sambil berkata, “Memekmu seperti masih perawan Sayang. Apakah kamu yakin kalau kamu tidak perawan lagi?”
Nova menatapku sambil berkata lirih, “Gak taqu juga Bang… aku hanya mikir kalau sering mengalami orgasme, pastilah aku gak perawan lagi.”
“Cara menggunakan dildo bagaimana? Dimasukkan semuanya ke dalam liang memekmu?”
“Gak Bang. Hanya ditekankan ke clitorisku sambil diaktifkan vibratornya.”
“Sama sekali tidak pernah dimasukkan ke dalam liangnya?”
“Pernah. Tapi hanya sekitar satu sentimeter aja. Gak berani masukin dalam – dalam.”
“Ya udah… nanti juga akan terbukti masih perawan atau tidaknya sekarang ini,” ucapku sambil mendorong lagi kontolku sedikit demi sedikit, sampai masuk lebih dari setengahnya.
Setelah masuk lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayun kontolku sambil memperhatikan wajah Nova yang sudah mulai membuka matanya.
Mata Nova itu sayu. Dan secara objektif harus kuakui, bahwa Nova sedikit lebih cantik daripada Anneke. Ini penilaian yang objektif, bukan lantaran dia itu adik kandungku.
“Bang…” ucapnya lirih.
“Hmmm?” aku masih perlahan mengayun kontolku.
“Aku yakin… aku sudah cinta pada Abang. Bukan sekadar sayang lagi…” ucapnya tersendat – sendat, karena aku mulai mengentotnya, meski belum dipercepat entotannya.
“Tapi kita takkan bisa jadi suami istri Sayang. Kamu kan adik kandungku.”
“Biar aja Bang. Yang penting kita bisa saling mencintai… tanpa harus diketahui orang lain… oooooo… oooooooohhhhh… Baaang… ini mulai enak sekali Baaaang…”
Aku masih pelan – pelan mengentotnya. Sehingga diam – diam aku mengangkat badanku sambil mengamati kontolku yang sedang memompa liang memek adikku. Ternyata kecurigaanku benar. Kontolku seolah diselimuti oleh lapisan tipis kemerahan. diselimuti oleh darah perawan Nova…!
Maka sambil melanjutkan entotanku, bibir sensual Nova kupagut. Kuciumi dan kulumat bibirnya, disusul dengan bisikan, “Benarkah kamu mencintaiku Sayang?”
“Iya Bang. Kalau gak cinta, gak mungkin aku menyerahkan memekku pada Abang…”
Terharu aku mendengar ucapan Nova itu.
“Aku juga mulai mencintaimu Sayang…” ucapku sambil menciumi kelopak mata, ujung hidung dan bibirnya.
“Terima kasih Bang…” ucap Nova sambil mendekap pinggangku.
Aku mulai mempercepat entotanku.
Nova pun mulai mendesah – desah dan merintih – rintih perlahan, “Aaaaaah… Baaaang… aaaaah… ini luar biasa enaknya Bang… aaaaaaah… Baaaaang… aku cinta padamu Baaaaang… cinta sekali Baaaaang… aaaaaaah… aaaaaah…”
Karena melihat darah perawan tadi, aku jadi sadar bahwa aku sedang mengentot memek yang masih perawan. Karena itu, pasti ada luka di dalam memek Nova nanti.
Itulah sebabnya aku takkan terlalu lama menyetubuhi Nova, karena takut membuatnya tersiksa nanti.
Maka aku pun mengintip gejala – gejala Nova akan mencapai orgasmenya.
Dan itu tidak lama. Baru saja seperempat jam aku menyetubuhinya, Nova mulai berkelojotan. Pada saat itu pula kugencarkan entotanku, sambil berkonsentrasi agar secepatnya ejakulasi.
Lalu… pada waktu Nova sedang mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin… sampai terasa moncong kontolku mentok di dasar liang memek Nova.
Lalu terasa liang memek Nova berkedut – kedut perlahan, disusul dengan kejutan – kejutan kontolku yang sedang memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croootttt… croooottttt… crotttttt… croooottttttt… crottttt… crooootttt…!
Nova terkulai dalam pelukanku. Namun masih sempat ia berkata lirih, “Terima kasih Bang… yang barusan, luar biasa indahnya… karena diiringi perasaan cintaku pada Abang…”
“Kamu sudah ikhlas memberikan keperawananmu padaku?”
“Keperawanan? Aku kan memang gak perawan lagi Bang.”
“Siapa yang bilang kamu tidak perawan lagi? Sebelum kontolku dimasukkan ke dalam memekmu, kamu masih perawan Sayang,” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek adikku.
“Tuh… lihatlah… darah perawanmu jadi saksi, bahwa sebelum kusetubuhi barusan, kamu masih perawan… !” kataku sambil menunjuk ke darah yang tergenang kira – kira sebanyak 1 sendok teh di bawah memek Nova.
Nova duduk sambil memandang ke arah genangan darah perawannya di kain seprai putihku.
“Jadi aku tadi masih perawan Bang? Pantasan tadi terasa ada yang perih – perih,” ucap Nova tampak bingung.
“Perih karena hymen-mu sobek tadi. Begitulah kenyataannya. Dildo itu tidak merusak keperawananmu, karena kamu tidak pernah memasukkannya ke dalam memekmu kan?”
“Iya Bang. Aku hanya suka menempelkan dildo itu di clitoris dan di labia mayoraku. Belum pernah dimasukkan sampai ke dalam liangnya. Tapi sekarang aku benar – benar gak perawan lagi kan?”
“Iya. Kamu ikhlas memberikannya padaku?”
“Ikhlas Bang. Malah aku senang karena telah memberikannya kepada cowok yang aku sayangi sekaligus kucintai. Tapi Abang jangan mencampakkan aku nanti ya Bang.”
“Aku bukan manusia sejahat itu, Nova Sayang. Tapi di depan orang lain, kamu jangan memperlihatkan sikap mesra padaku ya.”
“Iya Bang. Tapi kalau bersikap manja sebagai seorang adik kepada abangnya, boleh kan?”
“Boleh. Yang gak boleh itu mencium bibirku di depan orang lain, misalnya. Kalau cium pipi malah gak apa – apa.”
Nova menganguk – angguk sambil tersenyum. Lalu kuminta Nova turun dulu dari bed. Kemudian kutarik kain seprai itu, untuk diganti dengan kain seprai baru. Kuipilih kain seprai berdasar coklat muda dengan corak kotak – kotak berwarna coklat muda.
Ketika aku sedang memasangkan kain seprai yang masih bersih itu, Nova menggulung kain seprai yang sudah terciprati darah perawannya.
“Seprai yang ini mau dikemanain Bang?”
“Masukkan aja ke dalam mesin cuci di dalam kamar mandi itu. Besok pagi akan kucuci, agar bekas darahnya jangan kelihatan orang.”
“Iya Bang.”
Esok paginya kubawa Nova ke dalam kamar Ibu.
Kulihat Ibu sedang duduk di sofa kamarnya.
“Anak bungsu Ibu sudah bersama kita Bu.”
“Anak bungsu?” Ibu tampak kaget, “anak yang diadopsi oleh Pak Hasyim itu?”
“Iya Bu. Saat diadopsi oleh Pak Hasyim, adikku itu belum diberi nama kan? Nah… sama Bap hasyim dan istrinya diberi nama Nova.”
“Nova, “gumam Ibu sambil mengangguk – angguk.
“Ini si bungsu sudah bersama kita Bu,” ucapku sambil menoleh kepada Nova dan memberi isyarat agar mencium tangan dan memeluk Ibu.
“Mana anakku yang namanya Nova itu…?” Ibu merentangkan kedua tangannya.
Nova pun mencium kedua kaki ibu, kemudian mencium tangannya. Dan menghambur ke dalam pelukan Ibu.
Ibu menangis terisak – isak, sementara Nova pun tampak bercucuran air mata.
“Anakku… gak kusangka ibu bakal ketemu lagi denganmu Sayang… hiiiks… hiksssss… waktu kamu diberikan kepada Pak Hasyim, Ibu tidak tau sama sekali. Baru tau ketika mau menyusuimu, almarhum Ayah bilang bahwa kamu sudah diberikan kepada Pak Hasyim untuk diadopsi oleh beliau… hikkssss… hikkssss…
“Pak Hasyim sudah meninggal Bu. Setelah perusahaannya gulung tikar, seluruh harta bendanya disita oleh bank. Lalu Pak Hasyim kena stroke berat dan akhirnya meninggal.”
“Lalu Nova ini bagaimana nasibnya?”
“Istri Pak Hasyim sudah ikhlas mengembalikan Nova kepada kita.”
“Ya Allah… terima kasih Allah… terima kasih karena anak hambamu ini sudah boleh bersamaku lagi…” ucap Ibu sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas.
Kelihatannya Nova senang juga bisa bersama ibu kandung kami.
Pada suatu saat Ibu berkata padaku, “Kamar Wati itu kan kosong Wan. Tempatkan aja adikmu ini di situ.”
“Nova gak mau Bu,” sahutku, “Nova ingin tidur di kamarku. Karena sejak Pak Hasyim meninggal, dia sangat kehilangan. Lalu setelah dekat denganku, dia merasa seperti menemukan pengganti Pak Hasyim. Kerena itu dia mau tidur di kamarku seterusnya Bu.”
“Oooh, ya udah. Di kamarmu kan ada dua bed ya Wan?” tanya Ibu.
“Iya Bu.”
“Wati sudah dikasihtau?” tanya Ibu lagi.
“Belum. Biar kuhubungi dia sekarang, “katyaku sambil mengeluarkan handphone dan memijit nomor Wati. Sengaja kukeluarkan suaranya lewat speaker ponselku. Supaya Ibu dan Nova bisa ikut mendengarkan.
Lalu :
“Hallo Wan…”
“Ada kabar gembira nih Wat.”
“Kabar apa?”
“Adik kita yang dahulu diadopsi oleh Pak Hasyim itu, sekarang sudah ada di rumah.”
“Wah… kok bisa? Baguslah, jadi kita bertiga terkumpul lagi.”
“Panjang ceritanya. Bisa datang ke rumah?”
“Wah… aku sedang di bandara Wan. Sejam lagi juga mau terbang ke Jepang.”
“Ohya?! Ada urusan apa di Jepang?”
“Urusan bisnis suami, sekalian ngajak aku jalan – jalan. Nanti deh sepulanbgnya dari Tokyo aku datang ke rumah. Pengen lihat adik bungsu kita itu.”
“Iya, iya. Semoga penerbangannya selamat dan lancar. Titip salam aja sama suamimu.”
“Oke Wan. Salam baktos aja buat Ibu. Dan salam buat adik bungsu kita… siapa namanya?”
“Nova.”
“Ya, bilangin sama Nova, kita semua sayang sama dia.”
“Oke,” sahutku sambil menutup hubunganku dengan Wati.
Ketika aku menoleh ke arah Nova, ia tersenyum – senyum. Mungkin senang mendengarkan percakapanku dengan Wati tadi.
Hatiku pun jadi senang, karena merasa telah berhasil mengumpulkan kembali anak – anak Ibu.
Tapi tiga hari kemudian… ketika aku pulang dari kantor, hari masih siang. Baru jam setengah satu.
Dan ketika aku masuk ke dalam kamar, kulihat Nova sedang duduk di sofa.
Yang membuatku tertegun, kulihat matanya basah, bahkan masih banyak air mata yang membasahi pipinya.
“Kamu menangis? Kenapa Sayang?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Nggak kenapa – kenapa Bang… hiks…” sahutnya sambil menunduk.
“Apakah kamu menyesali pada perbuatan kita berdua?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Nggak Bang. Masalah itu sih justru membahagiakan diriku,” sahutnya sambil merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku.
“Lantas kenapa kamu menangis? Ngomong dong terus terang. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri.”
“Aku… hiks… aku kangen sama Mama Bang… hiks…” ucapnya sambil terisak – isak.
“Nah begitu dong ngomong. Kebetulan besok aku mau ke Jakarta. Jadi bisa sekalian mengajak mamamu ke sini ya.”
“Iya Bang… hiks… terima kasih…”
“Udah… jangan nangis lagi ya Sayang. Lain kali kalau ada apa – apa, ngomong aja sama aku. Jangan dipendam sendiri, apalagi pake nangis segala begitu.”
“Iya Bang…”
“Biar otakmu segar lagi, kita refreshing ke villa yok.”
Nova bangkit dengan sikap mendadak jadi ceria lagi, “Mau.. mau Bang, “sambutnya.
“Kalau mau, ganti baju dulu gih.”
“Sekalian mau mandi dulu ya Bang.”
“Iya. Aku juga mau mandi.”
“Ya udah… bareng aja mandinya, yuk Bang, “ajak Nova sambil tersenyum.
“Tar dulu… kamu duluan ke kamar mandi gih. Nanti aku nyusul. Aku kan masih pakaian lengkap gini,” kataku sambil melepaskan jas dan dasiku, kemudian juga sepatu dan celana panjangku. Setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, barulah aku melangkah ke kamar mandi.
Ternyata Nova sudah telanjang di dalam kamar mandi. Membuatku tertegun lagi. Memang tubuh adik bungsuku itu indah sekali. Kulitnya pun sangat putih dan mulus sekali. Rasanya tak rela juga kalau pada suatu saat dia dipersunting lelaki lain. Tapi bijaksanakah kalau punya keinginan untuk memilikinya terus?
Entahlah. Yang jelas sejak persetubuhanku yang pertama dengannya itu, aku belum pernah menyetubuhinya lagi. Karena aku ingin agar luka akibat robeknya selaput dara (hymen) itu benar – benar sembuh dulu.
“Nanti di villa aku akan menggaulimu lagi untuk kedua kalinya. Sekarang pasti luka di dalam memekmu itu sudah sembuh,” kataku sambil memeluknya dari belakang, dalam keadaan sama – sama telanjang di bawah pancaran air hangat shower dari atas kepala kami.
Yang yang sangat Nova senangi adalah ketika aku menyabuni tubuhnya dari ujung kaki sampai ke lehernya. Dia merasa sangat dimanjakan dengan perlakuanku yang satu ini.
Hal lain yang membuatnya sangat nyaman adalah tidur dalam pelukanku. Bahkan menurut pengakuannya, tidur dalam pelukanku lebih nyaman daripada tidur dalam pelukan papa angkatnya.
Aku sendiri memang sangat sayang pada Nova. Karena dia sangat penurut. Apa pun yang kuperintahkan, dia lakukan tanpa membantah. Seperti waktu kusuruh membuang dildo dalam perjalanan pulang itu, misalnya, dia langsung membuangnya ke luar mobilku.
Beberapa saat kemudian, Nova sudah mengenakan blouse dan rok yang serba putih. Namun rok itu dilapisi rok yang terbuat dari kain jarang (puring) dan bercorak kembang – kembang berwarna hitam. Sehingga rok putihnya tampak, namun dicampur dengan kain puring hitam yang bercorak bunga – bungaan itu.
Sepatunya pun putih bersih. Sehingga adikku yang tubuhnya tinggi semampai itu tampak anggun. Bukan hanya cantik.
Bangga rasanya membawa adikku yang cantik dan anggun itu ke luar kota. Untuk beristirahat di villaku.
Memang aku berhasil membeli beberapa jenis properti dalam setahun belakangan ini. Profit yang kuterima dari perusahaan Tante Laila, perusahaan Anneke dan juga dari pabrikku yang telah berkembang dengan pesat itu, sengaja kujadikan investasi dalam bentuk properti. Beberapa rumah kubeli. Tanah dan sawah pun kubeli.
Aku yakin dalam waktu tidak terlalu lama, semua properti yang telah kumiliki akan mendapatkan keuntungan yang meyakinkan. Aku tidak mau jatuh miskin seperti Pak Hasyim almarhum. Karena itu aku harus selalu mewaspadai segala aktivitas bisnisku. Teoriku sederhana saja, agar jangan sampai jatuh pailit, jangan pernah besar pasak daripada tiang.
Ketika sedan hitamku sudah menginjak aspal, Nova berkata, “Bang… kalau bisa, kasih dong aku kegiatan. Biar jangan cengo mulu di rumah.”
“Ohya,” sahutku, “Kamu kan lulusan akademi sekretaris ya?”
“Iya Bang. Aku lulus SMA di umur enambelas. Lalu masuk akademi sekretaris. Tadinya sih ingin jadi sekretaris di perusahaan Papa. Eeeeh… perusahaannya malah bangkrut. Papa pun kena stroke sampai meninggal. Jadi nganggur deh aku setahun belakangan ini. Kuliah nggak, kerja juga nggak.”
“Nanti kamu akan kuangkat sebagai sekretaris direktur utama di perusahaan Tante Laila.”
“Tante Laila itu siapa Bang?”
“Adik ayah kita. Tapi adik seayah berlainan ibu.”
“Direktuir utamanya siapa?”
“Aku sendiri Sayang.”
“Asyiiiik… aku mau Bang jadi sekretaris Abang. Bisa ketemu terus tiap hari.”
“Tapi jangan sampai ketahuan sama Tante Laila kalau kita ada hubungan rahasia ya. Kamu harus bersikap sebagai sekretaris kepada atasan aja. Pokoknya kalau memang mau kerja, bekerjalah nanti secara profesional ya.”
“Siap Bang. Tapi kalau sedang berduaan begini, boleh kan aku bersikap mesra kepada Abang?” tanya Nova sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku.
“Tentu boleh. Bahkan harus… harus mesra kalau sedang berduaan begini sih.”
Tiba – tiba Nova mencium pipi kiriku, “Emwuaaaaah… aku cinta dan sayang sama Abang… !”
Aku tersenyum dan menghela nafas.
“Kamu bisa nyetir kan?” tanyaku.
“Bisa.”
“Di rumah kan ada mobil satu lagi,” kataku, “Nanti kalau sudah bekerja di kantorku, pakai aja mobil itu. Soalnya aku sering ada urusan di tempat – tempat lain. Karena aku memegang tiga perusahaan. Jadi kita gak bisa bareng – bareng terus.”
“Iya Bang. Mobil yang satu lagi kelihatannya keren kok Bang. Tapi mobil ini harganya selangit.”
“Gak tau, mobil ini hadiah kok. Gak tau harganya.”
“Hadiah dari mana?”
“Dari pabrik kacang asin.”
“Aaaah… masa sih hadiah dari kacang asin?!”
“Hahahaaa… bukan deng. Hadiah dari salah satu bossku, berkat prestasiku yang dianggap bagus. Makanya setelah bekerja nanti, kamu juga harus memperlihatkan prestasi yang bagus dan profesional.”
“Siap Bang Wawan Sayang…”
Sebelum mencapai villa, aku dan Nova turun dulu, untuk membeli makanan dan minuman uyang akan dibekal ke villa.
Kemudian kulanjutkan mengemudikan sedan hitamku menuju villa yang sudah dekat. Setibanya di depan villa itu, lewat hape kupanggil Mang Tarna, penjaga dan tukang bersih – bersih villaku.
Tak lama kemudian lelaki tua itu muncul. “Selamat sore Boss,” ucapnya sambil membungkuk sopan.
“Di dalam sudah dibersihkan Mang?” tanyaku.
“Sudah Boss. Baru tadi pagi dibersihkan semua,” sahutnya.
“Syukurlah. Ini buat beli rokok,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar uang merah.
“Terimakasih Boss. Kalau ada yang harus dikerjakan, silakan panggil aja saya.”
Aku mengangguk sambil mengeluarkan kunci pintu depan villa. Lalu masuk ke dalamnya bersama Nova.
Setelah menguncikan kembali pintu depan, aku mengajak Nova duduk di sofa ruang tengah. Nova bahkan kududukkan di atas kedua pahaku.
Sambil mendekap pinggang Nova, aku membisikinya, “Kamu sudah kepengen merasakan entotan kontolku lagi kan?”
“Hihihiii… iya Bang. Kangen banget. Malahan sejak kemaren ada gatel – gatel di memekku. Mungkin karena lukanya sudah mau sembuh, jadi aja gatel.”
“Gatelnya pengen digesek kan?” bisikku yang kulanjutkan dengan menjilati daun telinga Nova.
“Baaang… aku sih kalau telingaku kena sentuh… apalagi dijilatin begini… langsung horny Bang,” ucapnya sambil meremas tanganku yang sedang dipegangnya.
“Ya udah… lepasin semua pakaianmu gih,” sahutku.
Nova pun melepaskan sepatu putihnya. Kemudian berdiri di dekat pintu kaca yang menuju ke arah samping villa. Di samping villa itu banyak tanaman hias yang terlindung oleh benteng tembok tinggi.
Di dekat pintu kaca rayban itu Nova melepaskan pakaiannya sehelai demi sehelai …
Nova yang sudah telanjang selalu membuatku terpukau. Tinggi langsing, putih bersih… berwajah cantik, bermata sayu, dengan bibir tipis sensualnya… dengan senyum manisnya… o my God… seandainya dia bukan adik kandungku, hari ini juga aku mau menikahinya…!
Tapi tanpa menikahinya pun aku dan Nova sudah saling mencintai. Tak usahl;ah aku mengkhayal sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Dengan sikap dan sorot pasrah, Nova menelentang di atas bed kamar villaku ini.
Aku pun langsung menghimpitnya dengan nafsu yang sedang kutahan, agar jangan terburu – buru melakukannya. Maklum kali ini aku akan menggaulinya untuk kedua kalinya. Ya, baru mau kedua kalinya aku akan merasakan nikmatnya liang memek Nova yang luar biasa sempitnya.
Kutatap wajahnya yang berada di bawah wajahku. Dan bergumam, “Kamu adalah cewek tercantik di antara perempuan – perempuan yang pernah kukenal Sayang.”
Nova menatapku sambil menyahut, “Abang pun seorang cowok yang penuh pesona. Cowok yang mampu menentramkan hatiku. Mampu menyejukkan perasaan dan penuh kelembutan. Aku tak mungkin bisa mencintai orang lain Bang… karena hatiku sudah sepenuhnya Abang miliki.”
Lalu kupagut bibirnya ke dalam ciuman mesraku, sementara tanganku mulai mendarat di permukaan payudaranya yang berukuran sedang – sedang saja namun kencangnya bukan main.
Suhu badan Nova pun terasa menghangat. Terlebih setelah aku melorot turun… dengan wajah langsung berhadapan dengan memeknya yang bersih dari bulu, yang sudah kungangakan dan kuciumi… lalu ujung lidahku pun mulai menyapu – nyapu bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu, sambil mengalirkan aior liurku sebanyak mungkin.
Last but not least, tentu saja aku harus menjilati, mencelucupi dan mengisap – isap kelentitnya. Pada waktu aksi mulutku sedang terpusat di kelentit inilah, Nova bukan sekadar menggeliat lagi, melainkan mendesah dan merengek manja, “Baaaang… aaaaaaaaa… aaaaaah Baaaang… ini membuatku seperti melayang – layang Baaang…
Dan setelah memek Nova terasa sudah basah sekali, aku pun menjauhkan mulutku dari bagian yang paling indah itu.
Lalu kuletakkan moncong kontol ngacengku di ambang mulut vaginanya.
Kupusatkan dulu konsentrasiku sambil mengumpoulkan tenaga agar jangan meleset – meleset lagi seperti waktu baru pertama kalinya tempo hari. Kudorong dulu kontolku perlahan… hanya bertujuan untuk memasukkan kepalanya dulu.
Berhasil. kepala penisku sudah masuk dan berada di dalam jepitan liang memek Nova yang begini sempitnya. Lalu dengan sekuat tenaga kudorong kontolku sampai masuk lebnih dari setengahnya.
Dan mulailah aku mengayun kontol ngacengku dalam “irama slow” dulu. Sambil menunggu liang memek sempit ini beradaptasi dengan ukuran penisku yang kebetulan bisa dianggap di atas rata – rata penis bangsaku (kalau dibandingkan dengan kontol negro sih pasti kalah).
Suara Nova pun mulai terdengar, “Dudududuuuuuh… Baaaang… ini enak sekali Baaaaaang… oooooh Baaaaang… aku makin dalam mencintaimu Baaaang… cinta sekali Bang… ooooohhhhh… aaaaaahhhh… Baaaaang…”
Terlebih setelah entotanku mulai kupercepat sampai kecepatan normal, Nova memelukku erat – erat, sambil sesekali menciumi bibirku. Namun rintihannya lebih dominan di telingaku, “Baaaang… ooooohhhhh… Baaaaang… ooooohhhh… Bang Wawan Sayaaaaang… aku semakin mencintaimu Baaaang… oooooh…
Baaaaang… enak sekali Baaaang… oooooh… rasanya seperti melayang – layang gini Baaaang… ooooohhhh… entot terus Baaaang… jangan brenti – brenti Baaaang… ooooh… aku makin cinta Abaaaang… cinta sekali Bang… ooooohhhh… entot terus Baaaang… oooohhhhh… luar biasa enaknya Baaaaang …
Kali ini aku ingin memperlihatkan keperkasaanku. Karena itu aku berusaha agar durasi menuju ejakulasiku harus selama mungkin.
Dan aku berhasil. Lebih dari sejam aku menyetubuhinya, sampai ia orgasme tiga kali, aku masih stabil dan mengayun kontolku tanpa ampun. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat, Nova pun sama. Kontolku maju mundur terus di dalam liang memek Nova yang sudah licin dan semakin enak rasanya.
Nova tidak complain. Apalagi ketika aku mengentotnya sambil melumat bibirnya, menjilati lehernya disertai gigitan – gigitan kecil, menyedot dan menjilati pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya, menjilati ketiaknya sambil meremas toketnya terus… ia bahkan berkata terengah, “Bang… ooooh…
Melihat wajah Nova sudah pucat pasi, aku pun iba. Kasihan kalau adikku kenapa – kenapa. Maka kupercepat entotanku sambil menjilati ketiaknya terussss…
Lalu ketika Nova mengejang tegang dengan liang memek terasa berkedut – kedut kencang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa moncongnya mentok di dasar liang sanggamanya.
Lalu kontolku mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku.
Croootcrotttt… crooootttt… crottt… croooottttt… crotcrooooooottttt… crooootttt…!
Lalu aku terlunglai – lunglai di atas perut Nova yang sudah terkulai lemas juga. Dengan tubuh sama – sama bermandikan keringat.
Kemudian kucabut kontolku dari liang memek Nova, sehingga air maniku membludak dan mengalir dari mulut memek adikku dan berjatuhan ke atas seprai.
“Aku harus mandi nih… badanku penuh keringat gini,” kataku sambil turun dari bed.
Nova pun bangkit sambil berkata, “Aku juga mau mandi Bang…”
Aku mengangguk sambil mengangkat tubuh adikku. Dan membopongnya ke kamar mandi. Dengan manja Nova melingkarkan lengannya di leherku. Ia tampak senang sekali kubopong seperti ini. “Cinta dan sayangku pada Abang semakin mendalam Bang,” ucapnya.
Setelah berada di dalam kamar mandi, kubelai rambut Nova sambil bertanya, “Masih kangen sama Mama?”
Nova menatapku sambil menggelengkan kepalanya.
“Jadi besok mamamu gak usah dijemput ke Jakarta?”
“Gak usah. Lain kali aja,” sahut Nova sambil mendekatkan bibirnya ke bibirku.
Kukecup bibir Nova sambil memutar keran shower yang showernya berada di atas kepala kami. Air hangat pun memancar… membasahi kepala dan tubuh kami. Lalu seperti biasa, setelah mematikan dulu pancaran air hangat shower, kusabuni sekujur tubuh adikku sampai benar – benar tersabuni semuanya. Termasuk celah memek dan pantatnya.
Lalu kuputar lagi keran, sambil menjauh dari pancaran air shower, karena aku mau menyabuni tubuhku dulu sampai penuh dengan air sabun.
“Kalau gak jadi jemput mamamu ke Jakarta, besok mendingan ke kantorku aja ya. Supaya tau letak kantorku, di mana kamu akan bekerja nanti.”
“Hihihiii… iya Bang, iyaaaa…”
“Besok kamu pakai mobil SUV itu, ikuti aja mobilku. Supaya kamu langsung hafal jalan dari rumah ke kantor.”
“Ohya… mobil itu buatmu aja. Makanya rawat dengan baik ya Nov.”
“Iya Bang, iyaaa… terima kasih.”
Esok paginya semua janji kupenuhi. Nova kutempatkan di kantor perusahaan Tante Laila, sebagai sekretaris pribadiku. Mobil SUV itu pun sudah menjadi milik Nova, agar semangat kerjanya tinggi.
Meski pun Nova bilang tidak terlalu kangen lagi sama mama angkatnya, apalagi setelah mendapat hadiah mobil dan direkrut sebagai sekretaris pribadiku, namun aku tetap ingin menyenangkan hatinya.
Maka beberapa hari kemudian aku menelepon Tante Haya.
Lalu :
“Hallo… ini Wawan ya?”
“Iya. Apa kabar Tante?”
“Ya gitu deh. Masih jalan di tempat. Bagaimana keadaan Nova? Sehat – sehat aja?”
“Sehat Tante. Tapi kalau sedang ingat Tante dia suka melamun sambil bercucuran air mata.”
“Oh gitu ya.”
“Iya Tante. Maksudku menelepon Tante ini untuk ngasih kejutan pada Nova. Tahu – tahu Tante muncul di depan matanya. Pasti dia bahagia sekali Tante.”
“Ya udah, hari ini juga saya akan ke sana.”
“Tante mau dijemput ke Jakarta?”
“Gak usah. Tante mau pakai kereta api aja, biar gak macet di jalan. Kalau Wawan mau sih jemput aja tante di stasiun.”
“Siap Tante. Nanti kabarin aja jam berapa Tante tiba, aku akan jemput ke stasiun.”
“Kalau gitu tante mau beli tiketnya dulu ya. Nanti tante kabarin jam berapa tibanya di sana.”
“Iya Tante.”
Hubungan seluler pun kututup. Tapi sejam kemudian Tante Haya meneleponku. Dan melaporkan bahwa dia akan tiba di kotaku sekitar jam tujuh malam. Aku pun mengiyakan dan berjanji akan menjemputnya pada jam tersebut.
Sebelum jam tujuh malam, aku sudah nongkrong di stasiun kereta api.
Baru beberapa menit aku nongkrong di stasiun, kereta api dari Jakarta sudah datang.
Cepat aku mendekati gerbang kedatangan, sambil memperhatikan para penumpang yang sedang keluar di pintu kedatangan.
Kulihat mama angkatnya Nova datang dengan mengenakan gaun terusan putih polos. Hmmm… menurut keterangan Tante Martini, usia Tante Haya itu lima tahun lebih muda daripada Tante Martini. Tapi kelihatannya Tante Haya jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Dan mantan istri Pak Hasyim itu memang sangat cantik.
Setelah Tante Haya keluar dari pintu kedatangan, aku langsung menghampirinya sambil berkata, “Keretanya tepat waktu ya Tante.”
Ia menoleh dan menghentikan langkahnya di depanku. Aku pun mencium tangannya, mengingat bahwa dia itu ibu angkat Nova. Tapi dia tak cukup dengan cium tangan. Dia mencium sepasang pipiku di depan umum. Membuat batinku terhenyak. Terawanganku pun mewlayang – layang tak karuan. “Sudah lama menunggu?” tanyanya.
“Baru lima menitan Tante,” sahutku sambil menjinjing tas pakaiannya dan mengajaknya ke tempat parkir mobil.
Setelah meletakkan tas pakaian Tanter Haya di bagasi, bergegas aku menuju pintu depan kiri sampai Tante Haya masuk ke dalam mobilku. Setelah menutupkan kembali pintu depan kiri, barulah aku masuk ke belakang setir.
“Tante masih tinggal di pavilyun rumah Tante Martini?”
“Nggak lagi Wan. Sekarang tante tinggal di kamar kontrakan aja, berbaur dengan buruh pabrik.”
“Almarhum Pak Hasyim sama sekali tidak meninggalkan asset yang tidak terjangkau oleh penyelidikan bank?”
“Kalau ada yang tersisa sih, tak mungkin Nova tante kembalikan ke ibu kandungnya. Karena Tante sudah merasa Nova itu laksana anak kandung tante sendiri.”
“Nova juga begitu Tante. Pernah kelihatan menyendiri dan bercucuran air mata. Setelah ditanya, dia mengaku kangen berat sama Tante. Pada hari itu juga aku sudah berniat menjemput Tante ke Jakarta. Tapi setelah dikasih mobil dan kedudukan sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang kupimpin, dia jadi tampak terhibur dan ceria lagi.
“Iya. Nova pernah cerita masalah itu waktu menelepon tante. Dia bilang Wawan sangat baik padanya. Segala kebutuhannya diberikan oleh Wawan. ““
“Walau pun begitu, aku punya rencana lain untuk Tante,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke gerbang kompleks perumahan.
“Rencana apa Wan?”
“Aku akan menempatkan Tante di sebuah rumah yang bisa Tante miliki, tanpa mengeluarkan biaya serupiah pun. Rumahnya berada di kompleks perumahan ini. Tapi di rumah itu baru ada meja makan berikut kursi – kursinya, mesin cuci dan alat – alat dapur. Yang lain – lainnya bisa mendadak dibeli setelah Tante bersedia ditempatkan di rumah itu.
“Yang penting ada tempat tidur aja Wan.”
“Bed belum dibeli. Sofa juga belum ada. Di kamar tidur hanya ada sebuah kasur tipis berikut kain seprainya Tante. Besok kubelikan deh tempat tidur, sofa, lemari – lemari dan segala prabotan yang dibutuhkan. Pokoknya kalau Tante bersedia tinggal di rumah itu, besok siang juga akan lengkap semua furniture dan perabotannya.
“Iya. Nanti biar gampang kalau kangen sama Nova, naik angkot juga bisa kan?”
“Bisa Tante. Kompleks perumahan itu tidak terlalu jauh dari rumahku,” ucapku sambil menghentikan mobilku di depan rumah itu. Rumah yang sudah direncanakan untuk dihadiahkan kepada Tante Haya. Supaya kalau Nova kangen, bisa dengan mudah Tante Haya mendatangi rumahku. Atau Nova sendiri yang datang ke rumah ini.
“Inilah rumah untuk Tante,” kataku setelah membuka pintu rumah itu.
“Maksud Wawan, Tante bisa menempati rumah ini secara gratis?” tanya Tante Haya.
“Aku hadiahkan kepada Tante sebagai tanda terima kasih karena telah merawat adikku dari bayi merah sampai dewasa. Selain daripada itu, aku juga ikut prihatin atas nasib Tante sekarang ini. Istri seorang pengusaha mapan harus tinggal di rumah kontrakan segala. Meski rumah ini tidak besar, tapi kumohon Tante menerimanya dengan hati terbuka.
“Rumah ini sudah cukup besar Wan. Kamarnya juga ada tiga kan? Tante jadi speechless, harus bagaimana mengatakannya. Pokoknya beribu – ribu terimakasih atas kebaikan Wawan ini… mmm… boleh tante cium Wawan sebagai tanda terima kasih?” Aku tersenyum sambil merentangkan kedua belah tanganku.
Tante Haya pun menghambur ke dalam pelukanku. Lalu mencium bibirku dengan hangatnya.
Ini adalah detik – detik yang sangat menggembirakan. Karena tadi waktu Tante Haya mencium sepasang pipiku di stasiun, pikiranku sudah melayang ke mana – mana. Sedangkan kini… dia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat penuh nafsu birahi. Maka ketika kami jadi saling lumat bibir, kedua tanganku menggerayang ke bawah, untuk meremas – remas bokongnya yang masih tertutup gaun putihnya.
Setelah ciuman dan lumatan kami terlepas, Tante Haya kubawa ke dalam kamar paling depan. “Nah untuk malam ini Tante harus bisa tidur di situ, ‘ kataku sambil menunjuk ke kasur tipis berseprai putih bersihyang tergelar di lantai.
“Mau tidur di situ tapi malam ini temani tante ya, ‘ sahut Tante Haya.
“Wah… mau sih mau… tapi takut terjadi sesuatu yang diinginkan eeeeh… sesuatu yang tidak diinginkan… heheheee…” ucapku sambil meremas tangan Tante Haya yang sedang berada di dalam peganganku.
“Kenapa diralat? Tante justru ingin sesuatu yang diinginkan itu…”
“Serius Tante?” tanyaku sambil memegang kedua tangannya. Sambil saling tatap yang masih misterius bagiku.
“Serius. Mau sekali,” sahutnya sambil melayangkan tatapan dan senyum menggoda.
“Tante… aku ingin yang jelas… beneran tante mau disetubuhi olehku?”
“Iya Wan. Tante ini sudah lama… lama sekali tidak merasakannya. Makanya Tante merasa ada suatu kesempatan sekarang ini. Wawan mau ya menyetubuhi tante?”
“Tentu mau Tante,” sahutku sambil duduk di atas kasur tipis yang digelar di lantai ini, sambil meraih tangan Tante Haya agar duduk di kasur tipis ini juga.
“Sebentar, tante mau pipis dulu ya. Itu kamar mandi kan?” tanyanya sambil menunjuk ke pintu kamar mandi.
“Betul Tante. Ketiga kamar di rumah ini ada kamar mandinya masing – masing,” sahutku.
Tante Lalu bergegas menuju kamar mandi setelah mengeluarkan beberapa helai pakaian dari tasnya.
Agak lama Tante Haya berada di kamar mandi. Sementara aku tercenung sendiri sambil bersandar ke dinding dan menyelonjorkan kakiku di atas kasur tipis ini.
Sungguh, sebelum berjumpa dengan Tante Haya tadi, sedikit pun aku tak menduga akan mengalami semua ini. Aku menjemputnya di stasiun hanya dengan spirit kemanusiaan. Untuk menyenangkan hati Nova, sekaligus ingin membantu mama angkatnya adikku itu dari kesulitannya. Tapi begitu Tante Haya mencium sepoasang pipiku (bukan sekadar merapatkan pipinya dengan pipiku), spiritnya spontan berubah menjadi hasrat birahi.
Tak lama kemudian Tante Haya muncul lagi. Dalam pakaian yang sudah diganti dengan kemeja putih tangan panjang dan rok mini berwarna pink. Dengan senyum manis di bibir tipis merekahnya.
Lalu wanita bertubuh tinggi langsing itu pun merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku yang sedang kuselonjorkan. Sambil menatapku dengan sorot hangat dan senyum yang mengundang.
SIkapnya itu membuatku tidak sungkan – sungkan lagi untuk menyelinapkan tangan kiriku ke balik kemeja putih tangan panjangnya, karena tiga kancing di atasnya sudah terbuka sejak ia muncul dari kamar mandi. Lalu kuselinapkan tangan kiriku ke balik behanya yang belum ditanggalkan. Kutemukan toket berikuran sedang tapi masih terasa cukup kencang…
Entah kenapa belakangan ini kalau menyentuh dan melihat memek berjembut, nafsuku spontan bergejolak. Karena benar seperti yang dikatakan oleh Tante Ros, memek berjembut itu seolah mengandung misteri, tidak langsung menyentuh permukaan memeknya.
Dan memang aku tidak kesulitan untuk menyentuh celah memek di antara rimbunnya jembut. Sehingga jemariku mulai menggerayangi kehangatan daging hangat yang mulai licin oleh lendir libidonya.
Nafsuku pun semakin memanas. Namun semua itu tak berlangsung lama. Karena Tante Haya lalu bergerak untuk melepaskan pakaiannya sehelai demi sehelai. Sehingga keindahan payudara dan memek berjembutnya pun tampak jelas di mataku.
“Memek tante gondrong ya… soalnya almarhum Pak Hasyim senang memek berjembut. Nanti kalau Wawan suka memek yang tercukur bersih, akan tante cukur,” kata Tante Haya sambil merebahkan diri di atas kasur tipis berseprai putih bersih itu.
Aku pun spontan melepaskan busanaku sehelai demi sehelai. Hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di badanku.
Lalu aku merayap ke atas tubuh Tante Haya yang sedang berkata, “Tante memang senang memakai stocking. Hanya sekadar ingin agar nyamuk tidak terlalu mudah menggigit kaki tante.”
“Tante luar biasa menggiurkan di mataku. Tampak masih sangat muda. Seperti gadis yang belum mencapai tigapuluh tahun,” ucapku sambil mempermainkan pentil toket kirinya.
“Padahal usia tante udah tigapuluhtujuh tahun lho. Menghitung usia tante gampang kok. Pada saat mengadopsi Nova, usia tante baru tujuhbelas tahun. Tapi saat itu usia almarhum Pak Hasyim sudah kepala empat. Tante dinikahi oleh Pak Hasyim pada waktu usia tante baru limabelas,” sahutnya.
“Berarti sekarang usia Tante tigapuluhtujuh?”
“Iya.”
“Tapi sungguh… Tante tampak seperti cewek yang baru berusia duapuluhlima tahun.”
“Terima kasih,” ucapnya yang disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kubalas dengan lumatan sambil meremas toketnya dengan lembut.
Kemudian ia bertanya, “Wawan calon mantu Bu Martini ya?”
“Iya Tante.”
“Wah… nanti kalau sudah menikah dengan putri Bu Martini, pasti Wawan lupa sama tante.”
“Tante… aku ini sudah lama jadi penggila wanita setengah baya. Pacaran dengan Anneke hanya untuk simbol status aja. Tapi aku tetap sering tergiur oleh wanita setengah baya. Jadi… hubungan kita bisa dilanjutkan terus sampai kapan pun Tante.”
“Syukurlah. Berarti tante akan punya brondong ganteng secara rahasia nanti ya.”
“Hihihihiii… aku gak merasa jadi brondong kok.”
Lalu kami tidak berbicara lagi, karena aku mulai asyik mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Setelah tubuh Tante Haya mulai menghangat, aku langsung melorot turun, hingga wajahku berhadapan dengan memeknya yang berjembut lebat itu.
Sebenarnya jembut tidak menyulitkan untuk melakukan jilmek. Karena setelah jembut itu disibakkan, maka nongollah “wajah” memek Tante Haya yang sebenarnya. Spontan aku menciumi dan menjilati bagian dalam memek yang dingangakan oleh kedua tangan Tante Haya sendiri, sementara kedua pahanya sudah mengangkang lebar.
Dalam keasyikkanku menjilati memek berjembut itu, aku menyempatkan diri untuk berkomentar, “Memek Tante ini luar biasa… seperti memek gadis…”
“Kan tante belum pernah melahirkan Wan…” sahutnya.
Lalu kulanjutkan untuk menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu (pink lagi pink lagi?! Bahkan ketika aku sudah menemukan kelentitnya, maka bagian yang besarnya sedikit lebih gede dari biji kacang hijau itu pun kujilati habis – habisan. Pada saat itulah Tante Haya menarik kedua tanganku, lalu menempelkannya di sepasang toketnya.
Dan ketika hal itu kulakukan, menjilati kelentitnya sambil meremas sepasang toketnya, Tante Haya mulai mengggeliat dan mengejang tegang, sambil meremas – remas kain seprai.
Aku pun jadi asyik sendiri. Menjilat dan mengisap – isap kelentit Tante Haya sambil meremas- remas sepasang toketnya yang masih sangat sedap untuk kuremas – remas.
Tentu saja aku tak lupa untuk mengalirkan air liurku ke dalam liang memek Tante Haya. Dan setelah liang memeknya terasa sudah cukup basah, aku pun melepaskan celana dalamku, sehingga kontolku yang sudah ngaceng berat itu langsung mengacung ke depan.
“Woooow !” seru Tante Haya sambil menatap kontolku yang sudah siap dimasukkan ke dalam memeknya, “Penis Wawan… luar biasa panjang gedenya… untung barusan memek tante dijil;atin dulu. Kalau nggak… bisa kesakitan tante nanti… iiiihhhh… Wawan… bikin tante makin horny nih…”
Batang kemaluanku mulai membenam ke dalam liang memek Tante Haya… blesssssssskkkkk… maaasuuuuuukkkk …
Tadinya kupikir liang memek Tante Haya bakal longgar buat ukuran kontolku, karena aku sudah membasahinya pula dengan air liurku. Namun ternyata liang memek wanita setengah baya ini sempit sekali. Untung sudah dilicinkan oleh air liurku.
Memang wajar kalau liang memeknya masih sempit, karena dia memang belum pernah hamil dan melahirkan.
Tante Haya menyambutku dengan pelukan hangat dan ciuman di sepasang pipiku. “Kalau dari dulu tau Wawan punya penis sepanjang dan segede ini sih, pasti tante ajak main. Soalnya sejak suami tante meninggal, baru sekali ini tante merasakannya kembali.”
“Kalau Tante sudah tinggal di rumah ini, aku pasti sering nengok ke sini,” ucapku sambil mengayun kontolku pelan – pelan dulu.
“Cuma mau nengok?”
“Nengok liang memek Tante ini… hihihiiii…”
Lalu kulanjutkan ayunan kontolku secara berirama. Maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang memek Tante Haya. Ditanggapi oleh mama angkatnya Nova itu dengan geolan – geolan bokongnya, membuat kontolku terombang ambing dan terbesot – besot dengan ketatnya.
O, my God. Ini luar biasa nikmatnya. Mengingatkanku pada Mbak Vita yang senantiasa memuaskan nafsu birahiku, dengan goyangan pinggul yang menggila.
Dan ketika aku memperhatikan wajah Tante Haya dari jarak yang sangat dekat, aku tak berlebihan kalauj menilainya sebagai wanita setengah baya tercantik di antara perempuan – perempuan setengah baya yang pernah kukenal dan kunikmati memeknya.
Apakah kelak aku akan mendapatkan yang lebih cantik lagi, seperti pepatah Tiongkok yang mengatakan setinggi – tingginya gunung pasti ada lagi gunung yang lebih tinggi.
Entahlah. Yang jelas, pada saar ini Tante Haya yang tercantik di antara perempuan – perempuan setengah baya yang sudah kumiliki.
Awalnya Tante Haya meladeniku dengan geolan pinggulnya yang laksana pengocok telor manual. Disertai desahan – desahan perlahan. Cuma terdengar ah uh oh saja.
Tapi lama kelamaan rintihan – rintihan histerisnya mulai terdengar.
“Ooooh… Waaan… gak nyangka tante bakal mendapatkan semua ini… se… setelah sekian lamanya tante tak merasakannya Waaaan… ooooohhhhh… Waaan… penis Wawan ini… oooohhhh… luar biasa enaknya Waaaaan… !”
Seperti biasa, setiap kali menyetubuhi pasangan seksual baru, aku selalu ingin menciptakan kesan yang akan membuat mereka ketagihan. Karena itu aku tak sekadar mengentot liang memek mama angkat Nova ini. Tangan dan mulut pun ikut beraksi.
Tanganku digunakan untuk menyentuh dan meremas bagian – bagian yang terjangkau. Terkadang kugunakan untuk meremas bokongnya, di saat lain untuk meremas toketnya. Sementara mulutku digunakan untuk menjilati lehernya, mengemut pentil toketnya dan menjilati ketiaknya.
Tampaknya wanita – wanitaku punya titik peka yang sama. Ketika aku mengemut pentil toketnya, Tante Haya seolah terlena. Matanya terpejam, goyangan pinggulnya makin binal, keringat pun mulai membasahi tubuhnya. Begitu juga ketika aku menjilati lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil yang tidak menyakitkan, bahkan meninggalkan bekas pun tidak.
Aku pun berhasil memamerkan keperkasaanku. Lebih dari sejam aku menyetubuhi Tante Haya yang atraktif tapi cepat orgasme itu. Baru seperempat jam aku mengentotnya, ia sudah klepek – klepek dan mengejang. Lalu ia mencapai orgasme pertamanya. Setengah jam berikutnya, ia orgasme lagi.
Aku sangat happy kalau bisa merasakan indahnya detik – detik orgasme pasangan seksualku seperti itu. Karena aku tahu bahwa orgasme itu merupakan puncak kenikmatan bagi seorang wanita.
Aku berusaha untuk mempertahankan durasi ejakulasiku. Namun ketika gejala – gejala Tante Haya mau orgasme lagi, aku tak bisa bertahan lagi.
Lalu aku menggenjot liang memek Tante Haya segencar mungkin. Sampai akhirnya kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa mentok di dasar liang sanggama wanita setengah baya yang jelita ini.
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dan saling remas dengan kuatnya. Lalu ketika liang memek Tante Haya terasa bergerak – gerak erotis, moncong penisku pun memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooottt… croooooootttttt… crotttttt… croooooooootttt… crooootttt… crot… croooottttt…! Lalu kami sama – sama terkulai lunglai, seolah terdampar di pantai kepuasan kami.
Aku merasa cukup letih dan ngantuk. Sehingga akhirnya aku tertidur dalam pelukan Tante Haya, dalam keadaan sama – sama telanjang bulat.
Esok paginya, aku mengajak Tante Haya ke toko langgananku, untuk memilih sendiri furniture yang dibutuhkan untuk melengkapi kekurangan di rumah baru itu. Yang jelas, aku ingin rumah itu menjadi lengkap selengkap – lengkapnya. Maka kami pilih tiga buah bed untuk mengisi ketiga kamar di rumah yang sudah kuserahkan kepada Tante Haya itu.
Sebelum jam satu siang isi rumah baru itu pun lengkap sudah. Alat – alat elektronik seperti televisi, kulkas, mesin cuci dan sebagainya sudah tersedia sebelumnya. Tinggal menatanya saja lagi.
Kemudian aku menelepon Nova, yang pasti masih berada di kantor. Kuminta Nova datang ke rumah itu, sambil mengirimkan alamat lengkapnya. Tanpa diberitahu bahwa Nova akan dipertemukan dengan mama adopsinya.
Tak sampai sejam kemudian, kulihat mobil Nova berhenti di depan rumah baru ini. Aku suruh Tante Haya bersembunyi dulu di kamar paling depan yang sudah dipilih sebagai kamarnya. Tante Haya pun cepat bersembunyi di kamar itu. Sementara aku melangkah ke depan untuk menjemput Nova.
“Ini rumah siapa Bang? Abang kok ngajak ketemuan di sini?” tanya Nova setelah berada di teras depan.
Kusahut dengan bisikan, “Jangan memperlihatkan sikap mesra padaku ya. Nanti juga kamu tau kenapa aku memintamu datang ke sini.”
Nova hanya mengangguk sambil tersenyum datar. Mungkin dia masih bingung, kenapa aku memintanya datang ke rumah ini.
Setelah Nova duduk di sofa ruang tamu, aku menutup mata Nova dengan kedua telapak tanganku. Lalu aku bersiul sebagai kode agar Tante Haya keluar dari kamarnya.
Setelah Tante Haya berdiri di depan Nova, barulah kubuka mata adik kandungku yang sangat kucintai itu. Sambil berkata, “Sekarang bukalah matamu.” Nova membuka mata sayunya. Lalu memekik girang, “Mamaaaaaaaaa… !”
Mereka berpelukan dengan eratnya. Pelukan seorang anak yang tetap menyayangi dan merindukan ibu angkatnya.
Aku pun terharu melihat mereka berpelukan sambil bercucuran air mata begitu. Namun tiba – tiba handphoneku berdering. Ketika kulihat layar hapeku, ternyata call dari Tante Martini. Maka bergegas aku keluar dari rumah itu, untuk menerima panggilan dari Tante Martini.
Ternyata Tante Martini memintaku datang ke Jakarta besok. Untuk membahas sesuatu yang sangat penting katanya. Ketika kudesak masalah apa yang akan dibahas itu, akhirnya Tante Martini berterus terang, bahwa ia ingin secepatnya menikahkan aku dengan Anneke. Jadi tujuan Tante Martini memintaku ke Jakarta, adalah untuk merundingkan persiapan pernikahanku dengan putrinya.
“Baik Tante. Besok aku akan ke Jakarta,” kataku di dekat hapeku. Kemudian hubungan seluler pun ditutup. Aku masuk lagi ke dalam rumah, sambil menyaksikan Nova dan Tante Haya yang tampak sedang melepaskan kerinduan mereka. “Bagaimana? Senang berjumpa mamamu sekarang?” tanyaku kepada Nova.
“Senang sekali Bang. Di setiap mimpiku, selalu aja Mama hadir. Dan sekarang bisa berjumpa begini. Terima kasih Bang. Tapi kenapa Abang mempertemukanku dengan Mama di rumah ini?”
Tante Haya yang menjawab, “Karena rumah dan semua isinya ini adalah hadiah dari Wawan untuk mama. Supaya kamu bisa sering berkunjung ke sini. Karena rumah ini letaknya tidak jauh dari rumah ibumu Sayang.” Nova tercengang. Menatapku dengan sorot berterima kasih.
Sementara aku tenggelam dalam terawanganku sendiri. Tentang isi pembicaraan lewat hapeku tadi. Bahwa Tante Martini ingin agar aku cepat – cepat menikah dengan putrinya, tanpa memberitahu apa alasannya.