Sejak rona merah di wajah Tania muncul saat itu, ia jadi berubah. Aku merasa kalau ia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku. Tidak cuma aku, bahkan ia juga jarang berkumpul dengan geng Power Rangers. Santi yang biasanya paling dekat dengan Tania, ikut-ikutan mengeluh.
“Anak itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia selalu ada halangan deh,” ucap Santi saat kami berempat sedang nongkrong di kafe.
“Mana gue tau. Kan biasanya elo yang paling deket sama dia?” ucap Rian sambil mengutak-atik hp-nya.
“Iya, San. Biasanya kalian selalu berdua kemana-mana, kok tumben pisah?” tanya Galih ikut bingung.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kue. Dalam hati aku bisa menduga, mungkin ada hubungannya dengan orang yang menelepon Tania waktu itu….waktu ia habis memberiku oral seks.
“Gue curiga ada hubungannya sama cowok itu…,” ucap Santi, membuat tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk.
“Cowok?” tanya Galih, “Punya pacar dia?”
“Masa? Si kutilang darat punya pacar?” timpal Rian.
“Ga tau deh. Kayanya sih gitu. Gue pernah liat dia jalan sama cowok itu. Kalau ngga salah sih alumni kampus kita,” ucap Santi, “Gue nggak masalah kalo Si Tan mau pacaran atau mau kawin sekalian, tapi ngga perlu ditutup-tutupin kan?”
“Ah elo iri kali… Jomblo berapa taun lo?” ledek Rian.
“Haha. Gue sih syukur si Tantan punya cowok. Gue sempet ngira kalian berdua lesbi!” ucap Galih diikuti tawa Rian, aku juga ikut tertawa. Santi hanya mencibir.
Esoknya, aku kembali mencoba mengirim sms pada Tania. Bukan untuk minta ‘servis’ sih, cuma ingin tahu kabarnya saja, karena sudah beberapa hari dia tidak masuk kuliah. Tapi ternyata dia tidak membalas. Kekhawatiranku semakin memuncak sehingga akhirnya aku putuskan untuk menelponnya.
“Halo, Tan,” ucapku.
“Halo, Di. Sori… tadi gue ga liat ada SMS,” jawabnya.
Ada setetes kesejukan di dalam dadaku ketika mendengar suara Tania. Seperti air oase yang membasuh kerinduan.
“Kemana aja? Anak-anak pada nyariin tuh. Si Santi juga,” ucapku.
“Iya, aduh sori. Gue lagi ada proyekan yang mesti gue kerjain sekarang-sekarang ini. Tapi nanti kalau udah selesai, gue pasti——”
Ucapannya terputus. Ada sebuah suara yang menyelanya. Suara laki-laki. Aku tidak terlalu jelas mendengarnya, tapi aku yakin ada suara lelaki yang berusaha menggoda Tania. Lalu mereka tertawa, sementara aku masih mendengarkan telepon.
“Di, nanti gue telepon balik ya!”
Tut… tut…. telepon diputus.
Perasaanku sesak. Setetes kesegaran yang kurasakan tadi kini kembali gersang, lebih gersang dari biasanya.
Tapi untunglah tak lama kemudian Rian dan Galih meneleponku. Mereka mengajakku untuk datang ke festival kampus Z yang mengadakan bazaar dan penampilan band-band indie. Aku menerima tawaran mereka. Mungkin saja bisa sedikit mengobati perasaan ini.
Kami pergi menggunakan mobilnya Galih, seperti biasa. Tapi selain aku dan Rian, ada seorang penumpang lain. Ia adalah Saras, gebetan Galih yang sedang didekatinya.
Orangnya ramah dan kulitnya hitam manis, dan aku ada kecurigaan jangan-jangan Galih sengaja mengajak kami karena ingin memamerkan gebetan barunya. Dasar anak orang kaya, sepertinya mudah sekali mendekati perempuan.
Tiba di Kampus Z, suasana sudah sangat ramai. Banyak stand makanan dan aksesoris yang dipadati pengunjung. Di tengah lapangan, sebuah panggung lumayan besar sedang menampilkan acara band.
“Gue sama Saras ke sana dulu ya!” ucap Galih sambil menunjuk sebuah stand ramalan kartu tarot.
Aku hanya mengangguk. Sudah jelas tujuan mereka ke sini karena ingin pacaran. Sementara aku? Kalau seandainya ada Tania… Mungkin aku bisa mengajaknya ke stand ramalan garis tangan… atau makan es krim… Rasanya belum pernah aku melakukan hal itu dengannya… Ah….
Aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Tania saat perasaan sesak mulai kembali muncul di dada. Kenyataannya, yang ada di sampingku sekarang adalah… Rian.
“Lo ngerasa jadi maho nggak jalan berdua sama gue?” ujar Rian sambil terkekeh-kekeh.
“Sialan lo. Ah, liat band aja yok,” ucapku.
Kami berdua maju ke depan panggung agar dapat lebih jelas melihat penampilan band. Band yang saat itu sedang tampil tidak begitu menarik perhatianku, sebab suara vokalisnya terlalu cempreng. Namun ketika band selanjutnya naik panggung, aku mengerutkan kening.
Ada tiga orang yang naik ke panggung. Dua orang pria berambut gondrong, dan satu orang perempuan cantik. Aku tidak kenal kedua pria itu, tapi aku kenal si perempuan.
Perempuan berkacamata, mengenakan kemeja dan kaos hitam agak ketat, dan celana jeans sobek-sobek. Aku kenal dia, dia adalah Ghea, adik tingkatku yang sering berpapasan denganku di kampus.
Kacamata berbingkai merah selalu menjadi ciri khasnya. Selain itu wajahnya sangat cantik, kulitnya putih mulus, postur tubuhnya bisa dibilang mungil, namun kalau boleh tebak, ukuran dadanya lebih besar dari Tania.
Band itu membawakan lagu ‘Lithium’ milik Nirvana dengan percaya diri. Suara Ghea yang agak serak terasa pas dan nyaring, bahkan memberikan nuansa tersendiri pada lagu itu.
Entah kenapa aku selalu tertarik pada perempuan tomboy dan agresif. Tapi Ghea mungkin di atas levelku, dia adalah tipe cewek cerdas pemberontak yang jadi incaran banyak cowok.
Ketika sedang bernyanyi, sesekali ia melirik ke arahku lalu tersenyum. Aku tidak berani membalas. Soalnya aku tidak yakin, benarkah ia tersenyum padaku? Berkali-kali aku menoleh ke belakang, tak ada orang yang tampak membalas senyumnya.
Sepertinya benar. Di kampus kami jarang mengobrol, tapi aku memang selalu merasakan tatapan berbeda dari dirinya setiap kali kami berpapasan.
“I’m so horny. But that’s ok. My will is good….” suara merdu Ghea terngiang di telingaku beserta lirik itu, juga senyumnya yang menggoda.
Suara merdu Ghea merasuk hingga ke dalam telingaku. Suaranya yang agak serak terdengar seksi, membuat tubuhku terasa merinding mendengarnya. Aku mulai membayangkan, bagaimana jadinya suara Ghea kalau ia sedang mendesah-desah?
Tiba-tiba khayalanku dikagetkan oleh getaran hp di kantong celana. Aku merogoh kantong dan melihat layar hp. Tadinya aku hampir saja menekan tombol untuk menerima telepon itu, tapi ketika melihat nama peneleponnya, jempolku tertahan. Orang yang meneleponku itu adalah Tania.
Aku ingat, tadi dia memang berjanji akan menelepon balik, sebab komunikasi kami terputus gara-gara ada seorang lelaki yang dengan seenaknya menggoda Tania ketika kami sedang berbicara.
Oh, jadi dia baru sempat meneleponku sekarang karena dia baru selesai bercumbu dengan lelaki itu? Satu jam lebih. Sudah berapa ronde, Tan?
Tania menolak memberikan keperawanannya padaku karena dia ingin menjagannya untuk seorang lelaki yang spesial. Mungkikah lelaki di telepon tadi adalah lelaki spesial itu? Kalau iya, berarti mereka memang sudah melakukannya.
Aku bisa membayangkan. Ketika tadi aku meneleponnya, mungkin Tania sedang ditiduri oleh lelaki itu. Mungkin posisi missionary, mungkin juga doggy style, tapi sepertinya sih doggy style.
Tania mengangkat teleponku sambil menungging, lalu lelaki itu dengan enaknya menggenjot vagina Tania dari belakang. Ketika berbicara denganku, ia terdengar tidak fokus, sepertinya karena ia sedang berusaha menahan suara desahannya.
Desahan karena rasa nikmat yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Dan ketika ia hampir mencapai klimaks, ia pun tidak tahan lagi dan langsung menutup telepon.
Aku patah hati, sementara di ujung sana ia menjerit menikmati orgasme. Jantungku seperti terbakar membayangkan semua itu, tapi anehnya kemaluanku malah mengeras.
Membayangkan Tania sedang ditiduri oleh lelaki lain, membayangkan wajah manisnya yang sedang melenguh, dan payudara mungilnya yang diremas-remas oleh lelaki misterius itu, serta tentu saja lubang vagina Tania yang sama sekali belum pernah kutembus…ada yang meledak dalam diriku. Kepalaku jadi pusing, getaran hp-ku masih berlangsung. AKhirnya jempolku menekan tombol reject.
***
Esoknya di kampus, aku tak sengaja berpapasan dengan Ghea. Ia memakai kacamata merah maroon favoritnya serta kemeja coklat yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, samar-samar memperlihatkan belahan dadanya yang mengundang rasa penasaran.
Biasanya aku jarang menyapanya kalau dia tak menyapa duluan, tapi entah apa yang terjadi, aku teringat dengan suara seksinya kemarin, dan aku langsung menepuk pundaknya.
“Ghe!” panggilku.
“Hey, Kak!” Ia menoleh dan tersenyum padaku. Jantungku berdetak kencang.
“Penampilan kamu kemarin bagus!” ujarku. Aku memang biasa memakai gaya bahasa yang lebih sopan pada orang yang belum terlalu akrab.
“Hehe, iya Kak! Kemarin saya lihat Kak Adi di depan panggung!” jawab Ghea sambil cengar-cengir. Aku dapat melihat gigi-giginya yang berderet rapi. Ngocoks.com
Ketika di atas panggung dan ketika bersama teman-temannya, ia terlihat sangat tomboy dan blak-blakan, tapi saat berbicara denganku ia malah seperti anak manis yang sopan.
Kami terdiam selama beberapa saat, sepertinya aku bingung mau bicara apa lagi, bibirku beku, aku hanya menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Ghea meraih pergelangan tanganku. Ada apa ini?
“Kak Adi belum makan kan? Yuk, saya traktir!”
Aku kebingungan dengan sikapnya. Apa dia memang seramah ini?
“Dalam rangka apa nih?” tanyaku sambil setengah diseret oleh Ghea.
“Tadi sebenernya saya udah janji sama temen-temen band yang lain, mau latihan. Tapi ternyata mereka ada urusan, jadi sekarang saya bingung mau ngapain. Kebetulan ada yang pingin saya tanya sama Kak Adi.”
Hal yang ingin dia tanyakan itu ternyata masalah pelajaran. Ketika sampai di kantin, ia menggiringku ke meja pojok yang sedang sepi, lalu ia mengeluarkan setumpuk buku kuliah.
Dia memang satu tingkat di bawahku, dan mata kuliahnya banyak yang sama dengan mata kuliah yang pernah kuambil, jadi dia banyak meminta nasehat. Mulai dari masalah tugas-tugas, sifat para dosen, dan lain sebagainya.
Aku kewalahan, sebab aku sebenarnya bukan mahasiswa yang terlalu pintar, sementara dia adalah mahasiswi yang sangat cerdas.
“Nah, sebagai ucapan terima kasih, sekarang Ghea traktir!” Ucapnya sambil menyingkirkan buku-buku dari meja.
Bersambung…