Selamat malam sobat Ngocoks. Perlu diingat untuk para pembaca Ngocokers yang setia bahwasanya tulisan ini hanyalah fiktif belaka murni hasil dari pengembangan fantasy semata tanpa ada keinginan untuk melecehkan dan atau merendahkan suku, ras, dan agama, diharapkan kebijakan dan kedewasaan pembaca, segala sesuatu yang terjadi kemudian diluar tanggung jawab penulis.
Saya harap para pembaca Ngocokers untuk bijak dalam cerita dewasa ini. Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian ataupun cerita, maka itu semua hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari penulisnya.
Nyai Menggetarkan Iman – “Sampai di sini saja perjumpaan kita, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” suara merdu ummahat berkacamata yang tetap tampak manis di umurnya yang kian senja itu mengmasiri sebuah program kuliah subuh di salah satu stasiun radio swasta.
Sembari tersenyum kepada operator sound di hadapannya, ia pun melepas headset yang membelit bagian atas dari jilbab kuningnya. Sembari membetulkan sedikit posisi kacamata minusnya, wanita setengah baya yang usia 47 tahun itu pun menggapit tas tangan kulit dengan tangan kanannya dan kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Sebelum keluar, sang operator sempat memajukan tangannya untuk mengajak ustadzah itu bersalaman. Ustadzah itu pun menyambut tangan sang operator tanpa menyentuhnya sedikitpun sambil tetap menundukkan pandangan dan bergumam, “Assalamualaikum.”
Ngocoks Tapi hal itu sudah cukup membuat sang operator menelan ludahnya karena terpana akan keindahan gundukan kembar di dada sang ustadzah yang sekilas tercetak di jubahnya ketika ia menunduk.
Baru saja keluar ruang siaran, sang ustadzah berkacamata itu langsung disambut oleh seorang laki-laki berjanggut tipis yang berumur sekitar 27 tahun. Tubuhnya begitu kekar dan tegap dibalut baju koko hijau muda, peci putih, dan celana panjang hitam dari bahan kain.
Hidungnya yang mancung dan tulang pipinya yang kokoh memperkuat aura keshalihan dan kelelakiannya yang pasti menarik setiap wanita yang melihatnya termasuk ummahat berjilbab panjang di hadapannya yang tengah berdesir sedikit darahnya berhadapan dengan ikhwan yang jelas lebih tampan, lebih tegap, dan lebih muda dari suminya kini. “Assalamualaikum, Nyi,” ujar lelaki itu membuka suara.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, apa kabar mas Ganang?” Jawab sang ustadzah yang baru selesai siaran itu.
“Alhamdulillah ana bi khoir, Nyi. Saya baik-baik saja. Bagaimana tadi siarannya?” Lelaki tampan yang ternyata bernama Ganang itu sengaja atau tidak kian mendekat ke tubuh mungil lawan bicaranya yang tampak begitu alim dan lembut itu.
Jantung sang ustadzah itu berdetak lebih kencang dari keadaan normal menyadari gerakan ikhwan tersebut, wajahnya kian tertunduk, walau tanpa bisa dipungkiri, ketampanan dan aura kejantanan yang terpampang jelas di wajah Ganang membuatnya tak bisa menahan diri untuk mencuri-curi pandang pada Ganang, “Aa…aall…alhamdulillah, lancar-lancar saja mas.” Ia pun sampai tergagap-gagap karenanya.
“Krriiiing….krriiiing….,” sebuah bunyi dari handphone di kantong sang ustadzah pun menetralisiri situasi yang hampir tak terkendali itu, sampai-sampai sang ustadzah itu pun menghela nafas panjang saking leganya.
Ia merasa Allah telah menyelamatkannya dari hawa nafsu yang hampir tak bisa ditahannya itu. Ia bergeser dan sedikit berpaling ke sebelah kanan,”sebentar ya, mas.”
“Iya, Tafadhol. Silahkan, Nyaii.”
“Assalamualaikum,” ujar sang ustadzah memberi salam pada lewan bicaranya di telepon yang telah amat dikenalnya.
“Waalaikumsalam, Ibu. Habis siaran ya? Kapan kamu kembali ke Bandung?” Tanya seorang lelaki dengan logat sunda-nya yang khas di ujung telepon.
“Hmm…kayaknya baru malam ini, A. Nanti mau ke rumah Ummu Abdillah dulu di Radio Dalam. Memang ada apa A? Kapan pulang?” Jawab ustadzah tersebut dengan suara yang sedikit dilembut-lembutkan karena lawan bicaranya itu adalah sang suami tercinta.
Namun itu sudah cukup membuat Ganang yang tanpa ia sadari terus memandangi wajah putih sendunya yang beitu mempesona sedikit bergetar imannya. Sebagai lelaki, Ganang pun tak bisa bohong bahwa ummahat di hadapannya masih terlihat menarik walau telah memiliki beberapa orang anak.
“Nggak ada apa-apa kok, tapi kayaknya Aa sama Rini bakal lebih lama di sini. Masih banyak yang harus diselesaikan. Jadi tolong jaga anak-anak ya, nggak apa-apa kan, teteh?” Lelaki yang dipanggil Aa tadi menjelaskan.
Walau hatinya sedikit perih, namun ia memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan itu sekenanya, “Owh, nggak apa-apa kok, A. Lasmi nggak apa-apa di sini. Biar Lasmi yang urus anak-anak. Ya sudah, A, lagi buru buru, assalamualaikum.” Ustadzah yang ternyata bernama Lasmi itu langsung menutup telepon tanpa basa-basi lagi.
Ya, ustadzah yang baru saja siaran itu adalah Teh Lasmi, istri pertama seorang Kiyai yang alim dan begitu cantik. Saat ini, Sang Suami tengah berada di Surabaya bersama Rini, istri kedua-nya, guna suatu urusan dakwah.
Dan baru saja suaminya itu menelepon karena urusan itu menuntut tambahan waktu. Walau ia sudah berusaha untuk ikhlas, namun Teh Lasmi hanyalah seorang wanita biasa yang punya rasa cemburu dan butuh perhatian.
Sudah satu bulan Suaminya berada di Surabaya bersama Rini, madunya itu. Dan selama sebulan pula Ibu Lasmi terlarut dalam kesendirian. Tak hanya fisiknya yang lelah, batinnya pun lelah, rindu belaian mesra sang suami yang dicintainya.
Seperti tahu benar hal itu, Ganang kembali menggeserkan tubuhnya mendekati Teh Lasmi. Dengan penuh aura kelelakian, ia pun membisiki telinga kiri Bu Lasmi,” Nyai keliatan capek, istirahat saja dulu di ruangan saya, sebentar saja.”
Bagaikan tersihir, Bu Lasmi pun menganggukkan kepalanya dengan anggun. Ummahat yang begitu indah dipandang inipun menggoyang-goyangkan bongkahan pantatnya yang tercetak jelas di bagian belakang jubah putihnya mengikuti Ganang.
Goyangan yang sedikit erotis dan menggairahkan itu sudah pasti mampu menggugah iman setiap lelaki yang memandangnya. Walau telah beberapa kali melahirkan anak lewat vaginanya yang mungil nan imut, tubuh Nyai Lasmi tetap terlihat seksi dan menggairahkan.
Ia adalah sosok perempuan sunda yang mampu menjaga bentuk tubuhnya walau telah termakan usia. Walau telah berusaha menutup diri dengan jubah dan jilbab panjang berwarna kuning.
Tonjolan payudara Nyai Lasmi yang alim dan shalihah ini dapat kita lihat jelas, begitu montok dan berisi, mengundang setiap insan untuk meremas-remasnya. Apalagi pagi ini ia memakai jubah yang lebih ketat dari biasanya.
Begitu melihat Ganang memasuki sebuah ruangan, Nyai Lasmi pun berhenti sejenak. Sesaat ia membaca papan nama di depan ruangan tersebut, “Ganang Zaidi, Kepala Divisi Da’wah dan Syari’at Islam.”
Dengan perasaan tenang, karena yakin Ganang yang baru dikenalnya di stasiun radio ini sejak sebulan yang lalu itu adalah seorang ikhwan yang baik-baik, Nyai Lasmi pun memasuki ruangan yang hanya berukuran 6 x 4 meter itu.
Tanpa disuruh, Nyai Lasmi langsung duduk di sofa yang berada di dekat pintu. Seperti kata Ganang tadi, Nyai Lasmi memang sedang lelah. Tak hanya lelah fisik, tapi juga lelah batinnya.
“Nyai Lasmi Mau minum apa?” tanya Ganang berbasa-basi sambil berjalan menuju dispenser. “Teh manis, mau?”
“Boleh, mas. Gulanya sedikit saja ya,” ujar Nyai Lasmi sambil meletakkan tas tangannya di atas meja kaca di depannya. Ia tak merasa canggung sedikitpun.
Walaupun ia hanya berdua saja dengan seorang lelaki yang notabene bukan mahromnya di ruangan itu, namun pintu ruangan itu dibiarkan terbuka oleh Ganang. Ia pun semakin yakin bahwa Ganang tak akan berbuat macam-macam pada dirinya.
Ganang segera pergi ke dapur mengambil minuman segar agar tamu istimewanya ini tak menunggu terlalu lama, Ganang langsung saja membawakan cangkir putih berisikan teh manis itu dan meletakkannya di depan ummahat berparas manis nan berbodi indah itu. “Silahkan teh manisnya, Nyi.”
“Iya, syukron ya mas. Terima Kasih,” ujar Bu Lasmi. Ia langsung meraih pegangan cangkir yang dihidangkan di hadapannya itu sembari menyeruput perlahan teh manis yang begitu nikmat itu dengan bibirnya yang mungil dan berwarna merah muda.
Sedikit demi sedikit, Ibu Lasmi menghabiskan teh manis yang terasa begitu lezat di permukaan lidahnya itu. Ia rasakan tubuhnya terasa panas seketika dan sedikit bergetar, namun ia membiarkannya. Mungkin hanya sedikit efek hangat dari teh manis ini, pikir Bu Lasmi.
“Ada apa, Nyi. Kok kelihatannya gelisah begitu?” Bu Lasmi mulai menyadari kalau ini bukan sekedar efek hangat dari teh manis biasa. Ganang pasti telah mencampurkan sesuatu ke dalam minumannya tadi.
Kurang ajar sekali ikhwan ini, pikirnya. Tubuhnya mulai berkeringat. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan kelopak matanya begitu berat. Dengan mata setengah menutup, ia menggaruk-garuk kecil pundak kirinya dengan tangan kanannya yang lentik karena terasa sedikit gatal.
Untuk mengurangi rasa kantuk yang menerpa, Bu Lasmi mencoba mengalihkan pandangan pada jam yang ada pada dinding di belakangnya., namun usahanya itu tidak membuahkan hasil.
“Tidak, tidak apa-apa kok mas Ganang,” Ganang yang jauh lebih muda itu kini menyadari bahwa istri pertama Ustadz Haji Maulana itu telah masuk dalam jebakannya dan sebentar lai akan memasrahkan tubuh molek nan sintal miliknya untuk digagahi Ganang dengan penuh keikhlasan.
Ganang pun semakin tak sabar dan segera mengambil tempat di sebelah kiri Nyai Lasmi. Ia genggam tangan kiri Bu Lasmi yang halus dengan tangan kanannya yang cukup kasar.
Sementara itu tangan kirinya mulai melakukan serangan fajar dengan mengelus-elus pipi sebelah kanan Bu Lasmi yang lembut bukan main dan penuh aroma kewanitaan.
Ia hadapkan wajah ummahat manis berjilbab yang tengah berjuang melawan sensasi aneh yang disebabkan teh manis ajaib buatan Ganang tadi agar menghadap ke wajahnya. Ditatapnya mata yang tengah berpendar di balik kaca mata itu dengan penuh kemesraan.
“mas…..Ganang. Jangan ya, kita kan bukan mahrom. Lagipula nanti kalau ketahuan orang bagaimana?” Ganang tak menganggap itu sebagai penolakan. sumber Ngocoks.com
Bu Lasmi tak sedikitpun menarik telapak tangan kirinya yang tengah diremas-remas penuh nafsu oleh tangan kanan Ganang, lagipula Bu Lasmi mengucapkannya dengan sedikit berbisik, penuh kelembutan dan keteduhan bagai berbicara pada suaminya sendiri.
Dan ketika Ganang menarik lembut kepalanya agar wajah mereka mendekat, Bu Lasmi pun tak berpaling atau berontak sedikitpun. Ia mulai menikmati sensasi seksual yang begitu nikmat menggerayangi tubuhnya. Apalagi sudah sekitar 2 minggu suaminya tak sekali pun menyentuhnya.
Sebelum Aa berangkat ke Surabaya, ia sedang dalam keadaan haidh sehingga tak bisa digauli. Baru kemarin darah haidhnya berhenti. Dengan kata lain, saat ini Bu Lasmi sedang dalam masa subur sehingga membuat birahinya begitu meledak-ledak.
“Tenang saja, Bu. Ganang nggak akan nyakitin Nyai. Ganang cuma mau ngasih Nyai kenikmatan yang nggak akan pernah lupa. Lagipula, nggak akan ada yang melihat kita di sini.” Kini bibir dua insan yang bukan mahrom ini hanya berjarak sekitar 2 cm.
Lasmi pun telah memejamkan matanya sebagai tanda kepasrahan dirinya akan apa yang bakal terjadi setelah ini. Walaupun telah beristri dan mempunyai 2 orang anak, Ganang tak pernah menghilangkan sosok ummahat bertubuh bahenol asal sunda yang sering mengisi imajinasi liarnya ketika bermasturbasi.
Kini, langsung di hadapannya, telah terdiam seorang ummahat berjilbab kuning dan berjubah putih idamannya itu sedangkan ia sendiri memakai baju koko hijau muda lengkap dengan peci putihnya sebagai tanda kealiman dan keshalihan keduanya.
Namun kini sang maswat dengan nakalnya telah memejamkan mata dan sang ikhwan pun tengah asyik meremas-remsa tangan sang maswat dengan syahwat membara. Tanpa terasa keduanya telah berada di tepi jurang perzinahan.
Melihat Nyai Lasmi yang tak memberikan sedikitpun perlawanan dan malah telah begitu pasrah pada keperkasaan dirinya, Ganang pu mengambil inisiatif.
Sedikit demi sedikit ia menarik wajah Nyai Lasmi ke wajahnya dan…hmmm…hhmmmch…..hhmmmmpff…bibir seksi nan indah seorang Nyai Lasmi telah bersarang di bibir Ganang.
Ganang pun tak tinggal diam, dibelahnya sedikit demi sedikitbibir ummahat yang juga merupakan ustadzah terkenal itu dengan mendorong lidahnya yang kasar dan hangat.
Bersambung…